Hanya Ada Tiga di Indonesia

- Jumat, 11 Agustus 2023 | 15:23 WIB
PENA SEJARAH: Prof Dr Abdul Chalik MAg, guru besar bidang politik Islam ketiga di Indonesia.
PENA SEJARAH: Prof Dr Abdul Chalik MAg, guru besar bidang politik Islam ketiga di Indonesia.

Kamis (10/8) menjadi sebuah penanda bahagia. Bahkan, goresan pena Sejarah bagi seorang Abdul Cholik. Bocah dari desa pelosok, namun kini telah dikukuhkan menjadi guru besar. Profesor. Gelar tertinggi akademik. Jangankan cita-cita, awalnya mimpi pun tak pernah ada.

CHALIK lahir 50 tahun lalu. Terlahir di Desa Sulek. Salah satu desa di pinggiran Kabupaten Bondowoso. Jarak menuju ke wilayah perkotaan lumayan jauh. Sekitar 20 kilometer. Lazimnya kampung pelosok, kondisi Sulek juga masih penuh keterbatasan. Demikian juga keluarganya.
Seperti anak-anak desa masa itu, Chalik kecil juga menghabiskan banyak waktu bersama alam. Bermain di sawah, sungai hingga hutan. Bahkan, terkadang mengambili buah milik tetangga. Lalu, berlarian dan berkejaran. Namun, alam itu seringkali menjadi ekosistem resilien. Pembentuk pribadi tangguh.
“Untuk bisa ke sekolah dasar, setiap hari saya harus berjalan kaki sekitar 1,5 jam. Melewati sawah-sawah, sungai, bahkan tebing-tebing. Kalau dipikir sekarang, ndisik kok iso ngelakoni yo (dulu kok bisa melakukan ya, Red)?,’’ ungkapnya.
Chalik anak bungsu dari keluarga besar. Jumlah saudaranya 9 orang. Dari jumlah itu, dia satu-satunya yang lulus SD. Maklum, kondisi serba terbatas. Tapi, hal tersebut menjadi satu pelecut. Doa orang tua dengan didorong keinginan kuat, seolah menjadi aliran air bah. Mendorongnya untuk terus mengayunkan langkah. Mewujudkan asa.
Dulu, Chalik hanya memiliki cita-cita sederhana. Menjadi seorang tukang jahit dan sales rokok. Cita-cita itu bukan tanpa alasan. Maklum, ketika itu tukang jahit di desanya sangat terbatas. Jasanya banyak dibutuhkan. Pun begitu dengan sales rokok. Bagi anak kampung kala itu, melihat sales rokok adalah kemewahan. Berbaju seragam dan berkeliling-keliling mengendarai mobil, walaupun hanya mobil boks.
“Cita-cita dosen dan guru besar? Anak-anak desa tidak paham itu. Cita-cita saya waktu itu sesederhana itu. Begitu pula orang tua saya, cita-citanya simpel. Yang penting anak-anaknya bisa ngaji,” ujar bapak empat anak itu.
Selepas lulus SD, ibarat sebatang pohon, Chalik tidak ingin layu. Terus bertumbuh. Melanjutkan bersekolah. Ia diantar mondok oleh ibunya. Ke Pesantren Al-Falah, Bondowoso. Meneruskan sekolah di Madrasah Tsanawiyah (MTs). Lulus dengan baik. Setelah itu, mencoba peruntungan dengan datang ke Situbondo. Chalik ingin menembus Pendidikan Guru Agama Negeri (PGAN). Salah satu lembaga pendidikan elite zaman itu. Proses seleksinya ketat. Eh, tembus juga.
Sambil sekolah, Chalik mondok di Pesantren Salafiyah Syafi'iyah, Situbondo. Selain mendalami ilmu agama yang menjadi harapan orangtuanya, Chalik makin banyak mengenal arti hidup dan kehidupan. Dari sinilah cara pandang tentang masa depan mulai berubah. Bahwa, masa depan tidak hanya tentang tukang jahit dan sales rokok.
Saat itu, sejatinya Chalik sangat ingin bisa kuliah di Al-Azhar Kairo, Mesir. Keadaan yang membuat mimpi itu kandas. Namun, keinginan kuatnya, membuat Chalik tidak ingin berhenti menuntut ilmu. “Saya ingat betul, ketika itu dapat cerita dari teman yang bernama Razak dan Luthfi. Kuliah di IAIN Sunan Ampel, Surabaya, saja. Disebutnya, kampus itu kampus yang masyhur dan kelas wahid. Alhamdulillah, lolos seleksi,” ungkapnya.
Lolos di PTN kota besar yang kini bernama Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA), Surabaya, Chalik pun girang luar biasa. Maklum, anak dari kampung. Ia pun pulang. Menemui ibundanya. Mengabarkan keriangan itu. Namun, ibunya hanya bisa terdiam. “Ibu bilang, biayanya dari mana?’’ katanya. Seperti pepatah populer: Man jadda waa jadda (siapa giat pasti dapat), Chalik pun terus berupaya meyakinkan ibunya. Layar sudah terkembang. Dia ingin terus melanjutkan studinya. Pohon mesti bertumbuh dan bercabang.
Bangku kuliah makin membentuk karakter Chalik. Dari sinilah, dia mulai mengenal dunia aktivis melalui Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Di organisasi ekstra kampus itu, Chalik menjalaninya dengan aktif dan konsisten. Mulai dari tingkat komisariat hingga pernah menjadi sekretaris umum Korcab PMII Jatim. Bahkan, dia sempat menjadi ketua panitia Kongres PB PMII.
“Sampai saat ini, saya juga masih belum bisa move on dari PMII, masih terus aktif di IKA (Ikatan Alumni) PMII hingga saat ini,’’ ucapnya.
Selama di kampus, Chalik juga mengasah kemampuan menulis. Masuk ke pers kampus. Kala itu, aktif di Majalah Edukasi dan Tabloid Solidaritas. Mulai menjadi reporter sampai menjadi pemimpin redaksi (Pemred). Melalui Tabloid Solidaritas itu pula, ia berjejaring dengan insan pers kampus di seluruh Indonesia hingga ikut mendirikan Perhimpunan Pers Seluruh Indonesia (PMII) di Kaliurang, Jogjakarta, pada 1993.
Dari aktif bersama PMII pula, juga bertumbuh nilai sosial dan pengabdian. Karena itu, sejak masih semester lima, Chalik mendirikan sekolah Madrasah Aliyah (MA) di Gempol, Pasuruan. Lalu, mengajar selama 7 tahun, dan sempat menjadi kepala sekolah di sana. Selain itu, ia juga pernah menjadi pengajar di MA Negeri Surabaya, serta beberapa sekolah atau perguruan tinggi.
Chalik percaya betul bahwa siapa yang bersungguh-sungguh untuk terus menuntut ilmu, maka akan terentang jalan lapang. Sesuatu yang mungkin hanya mimpi, bakal menjadi kenyataan. Seperti tertuang dalam Alquran Surat Al-Mujadalah Ayat 11: Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman dan berilmu.
Dengan spirit itu pula, akhirnya Chalik kini menjadi profesor bidang Politik Islam. Yang istimewa, di Indonesia saat ini hanya ada tiga guru besar bidang tersebut. Yakni, Prof Noorhaidi Hasan MA, MPhil, PhD dari UIN Jogjakarta, Prof Ahmad Ali Nurdin MA, PhD dari UIN Bandung, dan Prof Dr H. Abdul Chalik MAg sendiri dari UNISA Surabaya.
Dalam pidato penganugerahan guru besarnya, Chalik menyampaikan orasi ilmiah menarik yang aktual dan kontekstual: Koalisi atau Kongsi; Resonansi Koalisi Partai Islam Menjelang dan Sesudah Pilpres pada Masa Reformasi.
Selain kini menjadi Dekan di Fisip UINSA, Chalik sekarang juga aktif sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Gresik Bidang Dakwah. Dia turut memberikan warna hingga mengantarkan MUI Kabupaten Gresik meraih peringkat 1 se-Provinsi Jatim yang diberikan MUI Jatim.
Di MUI Kabupaten Gresik, Chalik juga membawa sejumlah inovasi. Beberapa di antaranya, perintis Pesantren At-Taubah di Rumah Tahanan (Rutan) Gresik serta mendesain pendampingan rohani dan psikologi pasien di RSUD Ibnu Sina Gresik dan RS Semen Gresik. (jpg/uno)

 

Editor: uki-Berau Post

Tags

Rekomendasi

Terkini

Pemkab Nunukan Buka 1.300 Formasi untuk Calon ASN

Kamis, 18 April 2024 | 12:44 WIB

Angka Pelanggaran Lalu Lintas di Tarakan Meningkat

Kamis, 18 April 2024 | 11:10 WIB
X