Ombudsman: Ada Indikasi Pelanggaran

- Kamis, 28 Maret 2019 | 11:22 WIB

TANJUNG SELOR - Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Perwakilan Kaltara bakal melaporkan dugaan adanya maladministrasi penerbitan surat pernyataan penguasaan tanah (SPPT). Dugaan tersebut mencuat berdasarkan hasil pemeriksaan yang dilakukan terhadap Badan Pertanahan (BPN) Bulungan dan oknum Kepala Desa (Kades).

Kepala ORI Perwakilan Kaltara, Ibramsyah Amirudin menyampaikan, saat ini sedang melakukan pemeriksaan guna memastikan dasar perselisihan yang terjadi antar masyarakat lantaran sekira 300 sertifikat yang ditindis dengan 200 SPPT. “Yang terjadi ini penyerobotan tanah. Sebab, ada sertifikat tanah, tapi ditindis SPPT. Padahal lahannya sama. Kalau terindikasi maladministrasi, memang terindikasi,” ucap Ibramsyah Amirudin kepada Radar Kaltara, Rabu (27/3).

Dijelaskan, guna memastikan adanya maladministrasi pada penerbitan SPPT saat ini pihaknya masih mendalami informasi di lapangan. Dugaan adanya kesalahan penerbitan SPPT yang diterbitkan sejak 2016, 2017, dan tahun 2018. Sedangkan, sertifikat warga sejak yang ada sejak 1993.

Dan saat melakukan pemeriksaan di Desa Gunung Seriang yang menjadi lokasi pembangunakan Kota Baru Mandiri (KBM) keterangan mantan kepala desa tidak mengetahui adanya sertifikat milik warga. “Alasan di lapangan tidak mengetahui ketika dimintai keterangan. Tetapi, fakta ada sertifikat yang dikeluarkan sejak 1993. Atas dasar ini diduga ada maladministrasi yang dilakukan sejumlah oknum,” tegasnya.

Dan jika dugaan ini terbukti adanya maladministrasi penerbitan SPPT, tentunya dilapokan ke pihak kepolisian. Dengan proses penyelesaian ini ke depanya tidak menghambat pembangunan yang rencanakan pemerintah. “Kalau memang maladministrasi kita pidanakan. Kita mau selesaikan ini karena laporan masyarakat yang masuk agar ke depanya tidak ada lagi lahan yang bermasalah,” harapnya.

Sebelumnya, Ombudsman Kaltara menerima laporan adanya lahan transmigrasi yang memiliki sertifikat ditindis dengan SPPT. Berdasarkan laporan sekira 300 sertifikat yang ditindis dengan 200 SPPT. Dengan sertifikat lahan pada 1993 dan SPPT yang dikeluarkan sejak 2016 hingga 2018. Diketahui, SPPT terbit setelah adanya persetujuan sejumlah saksi seperti kepala desa dan ketua RT yang ditandatangani.

Wilem, salah satu warga pemilik lahan dengan dasar sertifikat mengatakan, sertifikat lahan miliknya sudah ada sejak 1993. Namun, tertindis dengan sertifikat 2012, 2013 dan SPPT 2016, 2017 dan 2018.

Sekira 100 orang transmigrasi yang memiliki sertifikat. Namun, saat ini sedang bermasalah akibat adanya SPPT dan sertifikat yang baru saja diterbitkan. Sedangkan pemilik sebenarnya tidak pernah menjual kepada orang lain. “Yang punya baru ini atas nama kelompok tani. Yang keluarkan itu Camat Tanjung Selor dan Kades Jelarai,” bebernya.

Ia menilai muculnya persoalan ini sejak 2016 dan ditengarai lahan ini akan menjadi KBM. Sehingga beberapa orang berlomba untuk membuat surat. Apalagi peta bidang tanah dikeluarkan panitia pengadaan tanah dan terjadi pada Oktober 2018.

Ia berharap SPPT 2012 dan 2013 serta lainnya dicabut. Lantaran sertifikat yang berlaku di daerah saat ini di klaim akan dijadikan KBM. Dan musyawarah penetapan bentuk ganti rugi tanah pada 17 Desember 2017 lalu tidak berjalan sesuai kaidah dan aturan yang ada. “Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012, dimana dalam petunjuk teknis pun dilanggar,” jelasnya. (akz/ash)

 

 

Editor: anggri-Radar Tarakan

Rekomendasi

Terkini

Eks Ketua KPU Kaltara Bulat Maju Pilkada Bulungan

Jumat, 12 April 2024 | 11:00 WIB

Bupati Bulungan Ingatkan Keselamatan Penumpang

Kamis, 11 April 2024 | 16:33 WIB

Ada Puluhan Koperasi di Bulungan Tak Sehat

Sabtu, 6 April 2024 | 12:00 WIB
X