ODHA di Tarakan Kerap Alami Diskriminasi dan Perbuatan Kurang Menyenangkan

- Jumat, 2 Desember 2022 | 12:04 WIB
ILUSTRASI: Lambang HIV AIDS yang diperingati setiap 1 Desember sebagai Hari AIDS Sedunia.
ILUSTRASI: Lambang HIV AIDS yang diperingati setiap 1 Desember sebagai Hari AIDS Sedunia.

Semua orang tentu ingin menjalani kehidupan sebagai layaknya manusia pada umumnya, tidak terkecuali dengan Orang dengan HIV AIDS (ODHA). Namun terkadang kehidupan tak selalu berjalan sesuai keinginan, sehingga komunitas ODHA hingga saat ini masih kerap mengalami persoalan sosial yang hingga saat ini terus terjadi.

AGUS DIAN ZAKARIA

SALAH satu pelopor Komunitas ODHA di Kota Tarakan, Anjelin menerangkan, hingga saat ini ODHA di Kota Tarakan masih berkutat pada persoalan kurangnya percaya diri untuk tampil dan terbuka mengakui jika dirinya berstatus ODHA. Menurutnya hal tersebut tidak terlepas dari stigma ODHA di kalangan masyarakat dan kekhawatiran menerima perlakuan kurang menyenangkan.

“Sampai saat ini persoalan kami (komunitas ODHA) masih kepada kurangnya keterbukaan terhadap sesama ODHA, bahkan keluarga. Bagaimana pun ODHA membutuhkan dukungan sosial khususnya dari keluarga. Kami kan sesama komunitas pasti memberi dukungan, namun kendalanya sampai hari ini kurangnya keterbukaan teman-teman ODHA,” ujarnya, Rabu (30/11).

Hal itu bukannya tanpa sebab, pasalnya ODHA kerap mengalami perlakuan diskriminatif pada layanan kesehatan salah satunya dipersulit. Padahal, menurutnya salah satu upaya membuat ODHA percaya diri ialah memperlakukan seperti masyarakarlt pada umumnya. Sehingga meningkatkan rasa percaya diri komunitas ODHA di Indonesia khususnya Kota Tarakan.

“Kendala lain yang dihadapi teman-teman komunitas itu terkadang kami mendapat perlakuan diskriminatif dalam proses pelayanan kesehatan tertentu. Misalnya layanan cabut gigi, kemudian kalau masuk di poli, entah itu poli dalam kah atau anak, dan lain-lain kita kadang dipersulit,” terangnya.

“Kami juga kadang bingung, sulit menikmati layanan yang didapatkan masyarakat pada umumnya. Padahal, menjadi ODHA sama sekali bukan keinginan kami. Tidak ada yang mau menjadi ODHA, semua terjadi karena perjalanan hidup,” ungkapnya.

Oleh kejadian-kejadian itulah, sebagian komunitas ODHA di Tarakan tidak antusias dalam menjalani pengobatan. Sehingga tidak jarang, beberapa ODHA baru menjalankan aktivitas pengobatan saat telah mengalami gejala sakit. “Akhirnya karena sering mengalami hal itu, teman-teman ODHA jadi enggan berobat. Selagi masih merasa sehat teman-teman ini tetap menjalankan aktivitasnya masing-masing,” terangnya.

Tidak hanya diskriminasi layanan kesehatan, perbuatan tidak menyenangkan dalam etika komunikasi kerap dialami sebagian komunitas ODHA dalam hal sederhana meski tanpa disadari masyarakat umumnya.

“Belum lagi kalau mendapat layanan, kadang petugas pelayanan menanyakan pertanyaan yang membuat teman-teman ODHA sering tidak nyaman. Misalnya menanyakan dapat dari mana AIDS yang kami alami, dengan bahasa yang tajam. Sehingga hal itu menimbulkan ketidaknyamanan bagi teman-teman komunitas,” terangnya.

Tidak hanya itu, tidak jarang komunikasi sederhana itu menjurus kepada sesuatu yang terkesan menjustis sehingga membuat sebagian komunitas atau pasangan non ODHA merasa dikucilkan. Hal itu tidak jarang menimbulkan trauma pada kalangan ODHA karena mengalami perasaan yang sensitif.

“Seharusnya mungkin bahasanya diperhalus sehingga itu dapat diterima teman-teman. Belum lagi kadang teman-teman mendapat pertanyaan yang mengucilkan hati pasangan ODHA, seperti kok bisa mau sama dia, dia kan AIDS. Sehingga pertanyaan seperti itu yang membuat pasangan teman-teman komunitas terganggu,” tuturnya.

“Kadang hal-hal sederhana seperti itu bisa membuat kami tidak nyaman. Kenapa harus berbicara seperti ini. Sebenarnya hal seperti itu bukan lebih mengena mental teman-teman ODHA, tapi lebih ke pasangannya yang bukan ODHA,” tukasnya.

Selain itu, Anjelin menjelaskan jika sejak dua tahun terakhir komunitas ODHA jarang terlibat dari program penanganan ODHA. Meski diakuinya, cukup sulit mengumpulkan komunitas di publik. “Saya selama 2020 sampai saat ini sudah tidak lagi dilibatkan dalam program penanganan. Padahal MoU saya dengan rumah sakit dr. Jusuf SK setiap tahunnya terus diperbarui. Tapi sampai sekarang saya tidak pernah dipanggil untuk program pendampingan,” bebernya.

Halaman:

Editor: izak-Indra Zakaria

Rekomendasi

Terkini

Pemkab Nunukan Buka 1.300 Formasi untuk Calon ASN

Kamis, 18 April 2024 | 12:44 WIB

Angka Pelanggaran Lalu Lintas di Tarakan Meningkat

Kamis, 18 April 2024 | 11:10 WIB
X