Hingga saat ini nelayan di Tarakan masih kesulitan dalam mendapatkan bahan bakar minyak (BBM) jenis solar. Meski sebelumnya persoalan ini sempat disampaikan dan dilakukan rapat dengar pendapat (RDP) di DPRD Tarakan, namun hingga saat ini pertemuan tersebut belum berdampak atau membawa kemudahan bagi nelayan.
Ketua Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), Rustan mengatakan, hingga saat ini nelayan masih kesulitan mendapatkan BBM. Menurutnya selama ini Pertamina dinilai belum transparan untuk membuka kuota khusus nelayan setiap bulan. Selain itu ia menduga, saat ini adanya kedatangan jumlah truk dalam jumlah besar yang berdatangan dari luar Kaltara, sehingga hal tersebut dikhawatirkan menganggu penyaluran solar ke nelayan.
“Persoalannya, kita tidak pernah melihat keterbukaan pemerintah tetkait dengan jatah BBM bersudsidi. Selama ini kita tidak pernah melihat keterbukaan pemerintah terkait dengan kuota atau jasa bersubsidi. Jadi kita tidak tahu berapa si sebenarnya kuota yang disiapkan untuk nelayan.Selama ini tidak ada transparansi berapa jumlah jatah BBM nelayan per bulan,” ujarnya, Selasa (4/10).
Dijelaskannya, selama ini data yang dipublikasi hanya menjelaskan secara garis besar saja, tidak menjelaskan peruntukan item jenis transportasi. Sehingga menurutnya, bisa saja laporan tersebut tidak sesuai di lapangan.
“Selama ini kan data yang dibuka untuk darat dan laut saja. Nah laut tidak jelas berapa liter ke APMS tiap bulannya. Bisa saja data itu cuma tertulis tapi penyalurannya di lapangan tidak sesuai. Buktinya kalau penyalurannya sesuai kuota yang dilaporkan lebih, nelayan tidak kesulitan mendapatkan BBM,” tukasnya.
Selain itu pihaknya menduga, saat ini adanya kedatangan truk dalam jumlah besar yang berdatangan dari luar Kaltara. Truk-truk tersebut diketahui sedang terlibat dalam pengerjaan proyek penimbunan pembangunan pabrik kertas di Tarakan Utara. Hal tersebut jelas membawa kekhawatiran bagi nelayan. “Sebelum banjirnya truk di sini solar subsidi bagi jatah nelayan aman-aman saja, tapi semakin banyaknya truk ini malah sepertinya tambah cukup sulit. Karena SPBU, APMS itu kan kelasnya beda, saya lihat semua itu dimasuki truk perusahaan itu,” tuturnya.
“Sebenarnya untuk mengantre kami bisa saja, cuma persoalannya pas BBM datang, dan kami melaut, siapa yang mau mengantre BBM ini. Kami sering tidak melaut karena mengantre. Sekarang pendistribusiannya itu memengaruhi jam kerja nelayan. Itu jadi satu beban juga bagi nelayan sekarang,” ulasnya. (zac/lim)