Sengketa Lahan di Pantai Amal, Warga Beda Versi dengan TNI AL

- Kamis, 29 September 2022 | 10:56 WIB
PAPARAN: Perwakilan warga Pantai Amal menjelaskan persoalan lahan warga di Bumi Perkemahan Binalatung, Tarakan Timur, Selasa (27/9). (FOTO: AGUS DIAN ZAKARIA/RADAR TARAKAN)
PAPARAN: Perwakilan warga Pantai Amal menjelaskan persoalan lahan warga di Bumi Perkemahan Binalatung, Tarakan Timur, Selasa (27/9). (FOTO: AGUS DIAN ZAKARIA/RADAR TARAKAN)

Sebagai upaya mempertahankan lahan yang diklaim, masyarakat Pantai Amal pada Selasa (27/9) sore memaparkan sejarah dan bukti soal kepemilikan lahan di Pantai Amal. Ini menyusul klaim dan rencana pembangunan Maritime Command Center (MCC) dalam memperkuat pertahanan negara oleh Lantamal XIII Tarakan.

Dalam pemaparannya di ruang pertemuan DPRD Tarakan, Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat sekaligus tokoh masyarakat Pantai Amal, Yusuf mengatakan, pada 1983 TNI Angkatan Laut mengesahkan sertifikat tanah hasil pemberian Pemerintah Kabupaten Bulungan yang bertempat di Tanjung Batu dengan luasan 5 hektare yang diperuntukkan untuk pertahanan pantai.

“Dulu pada tahun 1983 oleh Bupati (Bulungan) Sularsono pada saat itu, mengizinkan TNI AL untuk mensertifikatkan lokasi di 3 tempat. Pertama sertifikat itu ada di Sebengkok, Gunung Lingkas, dan Tanjung Batu. Di Tanjung Batu untuk kepentingan radar pantai luasnya sekitar 5 hektare,” ujarnya, (27/9).

Namun karena khawatir lahan itu dirambah oleh masyarakat yang sudah bermukim di sekitar pantai, akhirnya TNI AL memasang plang yang bertuliskan nama Area Militer Angkatan Laut (Amal) di Tanjung Batu. “Karena TNI AL takut lokasinya di Tanjung Batu dirambah oleh masyarakat, akhirnya mereka (TNI AL) dulu membuat plang dengan menulis Area Militer Angkatan Laut (Amal) di Tanjung Batu. Sehingga pada tahun 1983 itu orang mengindentikkan garis pantai Tarakan Timur (hingga berbatasan dengan Binalatung) itu dengan nama Pantai Amal. Padahal yang dimaksud area militer waktu itu cuma di kawasan Tanjung Batu seluas 5 hektar bukan seluruh garis pantainya,” terangnya.

“Dulu orang menyebutnya Amal saja, setelah waktu berjalan baru ada penamaan. Di RT 2 Amal namanya Batu Mapan kalau ke Amal terus ada sungai ada jembatan, sungai itu namanya Sungai Batu Mapan cuma namanya tidak sepopuler batu mapan di mamburungan, Kemudian ada namanya Kampung Tengah, Kampung Baru, Sungai Kuli, dan Binalatung. Tapi walaupun setiap kampung sudah ada namanya tapi masih saja nama Amal tetap melekat untuk penyebutan untuk alamat di bibir pantai karena sudah terbiasa dari dulu,” tuturnya.

 

Oleh sebab itu, dua pemukiman masyarakat di pesisir Pantai Amal disebut Amal Lama dan Amal Baru. Nama Pantai Amal itu pula yang menjadi nama Kelurahan Pantai Amal dikemudian hari. Meski ia mengakui dalam proses waktu berjalan kepanjangan dari nama AMAL kian tersamarkan di masyarakat.

“Selanjutnya lokasi pemukiman pantai terpisah jadi dua yang dipisahkan jalan, maka ada yang namanya Amal Lama dan Amal Baru. Jadi bukan karena nama alamatnya sepanjang pantai namanya Amal semuanya area Angkatan Laut. Ini yang mau saya luruskan,” tukasnya.

Wakil Ketua DPRD Tarakan, Yulius Dinandus menerangkan, dengan adanya pemaparan ini, pihaknya memiliki bekal untuk bertemu kementerian di Jakarta dalam waktu dekat. Adapun nantinya pihaknya membawa beberapa surat dan arsip DPRD dari beberapa kali pertemuan.

“Yang jelas, saya tidak berani mengambil sebuah kesimpulan dalam mencari fakta. Tetapi hasil rapat kita saja, saya mau mengatakan bahwa prinsipnya semua orang termasuk publik mengakui bahwa di situ ada area Militer AL, yang menjadi kendala kita adalah titik kordinat utamanya dari awal sudah tidak jelas. Kedua, luasan juga berubah-berubah-ubah. Bahkan tadi masyarakat sudah menyampaikan 6 fakta soal keganjilan luas lahan TNI AL tersebut. Bahkan di sini sering tumpang tindihtindih. Oleh karena itu, penjelasan tadi sudah cukup jelas. Tapi kembali lagi kami nantinya hanya menyampaikan ke Kementrian apa yang disampaikan hari ini,” lanjutnya.

Ia mengakui, setelah mendengar penjelasan masyarakat Pantai Amal secara panjang lebar, pihaknya menemukan adanya klaim luasan lahan TNI AL yang berubah dalam beberapa dekade. Sehingga menurutnya hal ini menjadi tanda tanya besar mengapa terjadi demikian.

“Apa yang diklaim dalam luasan lahan TNI AL, tidak ada satu pun yang cocok dengan nilai sebuah luasan. Kecacatan dari awal itu, dalam sebuah penentuan koordinat. Dulu kan belum ada teodolit tahun 1963. Di tahun itu baru Jerman yang punya. Akhirnya tahun 70-an baru masuk ke Indonesia setelah maraknya kasus sengketa lahan kala itu,” terangnya.

Dijelaskannya, persoalan pertama ialah penentuan titik koordinat awal untuk penentuan pusat belum ada, kedua luas lahan dalam beberapa tahun berubah-ubah. Dijelaskannya sudah diperlihatkan dengan 4 administrasi ditambah bukti fisik yang semuanya diduga tidak sama dengan klaim TNI AL saat ini. Kendati begitu, ia harus mengakui pembangunan MCC sangat penting bagi pertahanan negara.

“Sebenarnya, pembangunan MCC di Kota Tarakan ini, alasan dari pihak Menhan karena kebutuhan pertahanan negara. Sebelumnya, pernyataan BPN waktu itu saya harus sampaikan juga bahwa lahan yang ada di situ, kedua belah pihak tidak memiliki alas hak. Lalu pernyataan KPKNL bahwa lokasi itu sudah terdaftar sebagai aset BMN di Kemenkeu. singkat cerita setelah komitmen kompensasi disetujui komitmen itu tidak dilaksanakan, dan malah TNI AL melakukan pembangunan itu yang terjadi,” tukasnya.

“Selanjutnya, pimpinan DPRD beserta Komisi I akan bertemu kementerian untuk membahas persoalan ini. Memang ada surat rahasia negara yang sudah dikirim ke kami, tapi saya berwenang menyampaikan isi suratnya. Yang memiliki wewenang adalah pemda,” tukasnya. (zac/lim)

Halaman:

Editor: izak-Indra Zakaria

Rekomendasi

Terkini

Pemkab Nunukan Buka 1.300 Formasi untuk Calon ASN

Kamis, 18 April 2024 | 12:44 WIB

Angka Pelanggaran Lalu Lintas di Tarakan Meningkat

Kamis, 18 April 2024 | 11:10 WIB
X