Sengketa Lahan Warga-TNI AL, Warga Pilih Berkemah

- Selasa, 27 September 2022 | 12:36 WIB
Warga berdiskusi di lokasi lahan sengketa.
Warga berdiskusi di lokasi lahan sengketa.

TARAKAN - Sengketa lahan antara TNI AL dan warga Pantai Amal di kawasan Bumi Perkemahan Binalatung, Tarakan Timur masih terus bergulir. Sebagian masyarakat yang mengklaim lahan di kawasan tersebut bahkan membangun tenda darurat dan menginap di lokasi. Alasannya menjaga lahan.

Salah seorang warga, Sicamang menerangkan, pihaknya memiliki tanah tersebut secara sah dan memiliki peta bidang di atas lahan tersebut. Ia mengaku keberatan atas tindakan TNI AL yang dianggap refresif dan sempat melarang warga meninjau lahan. “Kami sejak dulu sudah mengelola lahan ini dan memiliki peta bidang. Kami heran waktu itu tidak dibolehkan melihat lahan kami. Kami mau beraktivitas sulit. Ada warga yang punya kandang ayam di sini, mau kasih masuk air tidak bisa, mau kasih masuk makanan ayam tidak bisa. Mereka menggunakan kekuatannya untuk menakuti warga, padahal sebelum mereka di sini kami sudah dulu merawat lahan ini,” ujarnya, Senin (26/9).

Sebelumnya TNI AL telah menyampaikan perihal sejarah atas klaim tanah di kawasan Bumi Perkemahan. Namun penjelasan itu belum dapat diterima masyarakat. TNI AL mengungkap dokumen yang diterbitkan pada 1983-1984.

Ketua Forum Masyarakat Pantai Amal, Yusuf mengapresiasi dan telah melihat pemaparan TNI AL dalam pemberitaan berbagai media. Namun ia menyayangkan dalam konferensi tersebut pihak TNI AL tidak melibatkan perwakilan warga Pantai Amal. Padahal menurutnya, masyarakat punya bukti dokumen dan dasar sejarah atas lahan yang diklaim tersebut. “Kami meminta kepada DPRD Tarakan agar diberi ruang untuk menjelaskan untuk mempresentasikan apa yang kami miliki. Termasuk data-data TNI AL, kami punya data sejarah dan kami punya data manipulasi TNI AL. Kami bukan tidak punya jawaban atas pemaparan mereka, supaya ini terang benderang. Jangan hanya mengambil kesimpulan versi dia (Lantamal XIII) Tarakan,” ujarnya, Senin (26/9).

“Tapi ada celah dari tidak sinkronnya sejarah itu, tidak mereka ungkapkan. Itulah kenapa kami mau ke Jakarta untuk menceritakan ini kepada Panglima TNI dan kementerian. Bahkan peta 2019 dan peta 2020 mereka itu berbeda, saya punya surat lama TNI AL dan 4 versi titik koordinatnya yang berbeda-beda. Saya tidak tahu yang betul yang mana,” tukas Yusuf.

Wakil Ketua DPRD Tarakan, Yulius Dinandus menerangkan, sebelumnya masyarakat menyetujui rencana pembangunan Maritime Command Center (MCC) di wilayah Bumi Perkemahan atas biaya kompensasi. Namun komitmen itu tidak dilaksanakan dan akhirnya masyarakat berubah pikiran. “Sebenarnya, pembangunan MCC di Kota Tarakan ini, alasan dari pihak Menhan karena kebutuhan pertahanan negara. Sebelumnya, pernyataan BPN waktu itu saya harus sampaikan juga bahwa lahan yang ada di situ, kedua belah pihak tidak memiliki alas hak. Lalu pernyataan bahwa lokasi itu sudah terdaftar sebagai aset BMN (barang milik negara) di Kemenkeu. singkat cerita setelah komitmen kompensasi disetujui, komitmen itu tidak dilaksanakan, dan malah TNI AL melakukan pembangunan. Itu yang terjadi,” tukasnya.

“Namun setelah kejadian pelarangan masyarakat untuk meninjau lokasi tanahnya kemarin, masyarakat berubah dan menegaskan tidak mengizinkan adanya pembangunan lagi. Dengan berbagai macam pertimbangan psikologi masyarakat. Sehingga hari ini (kemarin, Red) kami mencoba mendengar pendapat masyarakat sebelum kami menyambangi pihak Lantamal XIII Tarakan,” pungkasnya.

 

VERSI TNI AL

Sebelumnya, Komandan Pangkalan Utama TNI Angkatan Laut (Danlantamal) XIII Tarakan, Laksamana Pertama TNI Fauzi, S.E, M.M, M.Han, menerangkan, jika dirinya juga belum mengetahui banyak soal asal usul lahan dan persoalan yang dikemukakan warga. Namun ia menegaskan melalui pemaparan, Pantai Amal merupakan wilayah strategis yang layak dipertahankan lantaran lokasinya yang langsung berhadapan dengan negara Filipina.

“Saya pertama sampai ke sini bertanya-tanya apa itu Amal, dijelaskan kepanjangannya Area Militer Angkatan Laut. Saya pun sampai saat ini masih ragu dengan kepanjangan itu, setelah mendengarkan ulasan sejarahnya saya baru memahami dengan Pantai Amal. Dari nama saja sudah tidak bisa dipungkiri itu wilayah Angkatan Laut,” ujarnya, Jumat (23/9).

Dijelaskannya, lahan di Pantai Amal merupakan lanjutan pengolahan aset Koninklijk Nederlandsch-Indische Leger (KNIL) pasca Perang Dunia II. Setelah itu aset tersebut dimiliki Angkatan Darat dan ditukar guling kepada TNI AL. Lanjutnya, di tahun 1983 TNI AL mengizinkan 18 warga untuk mengolah lahan  tersebut untuk bercocok tanam. Namun seiring waktu berjalan warga yang bermukim semakin banyak. Hingga adanya klaim kepemilikan.

“Dulu tahun 1983 masih diizinkan 18 warga yang menggunakan lahan itu, dokumennya jelas, kita ingin membangun MCC (Maritime Command Centre). Kalau sekarang masih ada pohon, kandang ayam, kita tidak ingin merusak apa yang dimiliki masyarakat. Sehingga kami tetap membiarkan itu,” tukasnya.

“Jadi perairan di Amal itu sebenarnya area ranjau aktif sehingga diperlukan pembangunan MCC untuk menjaga laut dan membersihkan sisa ranjau yang masih ada. Di sana itu sekaligus digunakan untuk latihan pasukan Yonmaharlan,” sambungnya.

Halaman:

Editor: izak-Indra Zakaria

Rekomendasi

Terkini

Gubernur Kaltara Sebut Arus Mudik-Balik Terkendali

Selasa, 23 April 2024 | 11:15 WIB

PLBN Sei Menggaris Segera Operasional

Sabtu, 20 April 2024 | 15:30 WIB

Pemkab Bulungan Beri Keringanan BPHTB

Sabtu, 20 April 2024 | 11:50 WIB

Di Bulungan, 400 Ha Lahan Ludes Terbakar

Sabtu, 20 April 2024 | 10:28 WIB

KMP Manta Rute KTT-Tarakan Kembali Beroperasi

Sabtu, 20 April 2024 | 10:01 WIB
X