TARAKAN - Hingga saat ini penyebaran penyakit HIV/AIDS belum dapat terkendali dengan baik di Kalimantan Utara (Kaltara). Dinas Kesehatan (Dinkes) Kaltara mengakui jika saat ini ditemui kendala dalam menangani orang dengan HIV/AIDS (ODHA).
Sebagian ODHA cenderung tertutup dan belum siap menerima kenyataan. Mereka yang tertutup juga enggan mengikuti program pengobatan yang dijalankan pemerintah.
Saat dikonfirmasi, Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian (P2P) pada Dinas Kesehatan Kaltara, Agust Suwandy mengatakan, sejauh ini pihaknya terus berupaya semaksimal mungkin dalam melakukan deteksi dan penanganan pada ODHA di Kaltara. Salah satunya ialah melakukan pendekatan pada komunitas-komunitas yang potensial bersentuhan dengan ODHA.
"Di Indonesia, secara umum termasuk di Tarakan ini cukup sulit. Kita perlu kerja sama serta dukungan dari komunitas-komunitas. Kita perlu melakukan pendekatan, termasuk misalnya pada golongan waria. Golongan waria ini adalah kelompok paling sulit untuk didekati," ujarnya, Selasa (11/1).
"Tetapi kami dengan adanya komunitas-komunitas yang secara sukarela, ada namanya kelompok dukungan sebaya. Itu ada di Tarakan, Bulungan, yang memberikan dukungan mendekati komunitas-komunitas seperti WPS (wanita pekerja seks), LSL (lelaki suka lelaki), transgender, mereka bisa mendekat untuk diperiksa secara rutin," sambungnya.
Diakuinya, jumlah ODHA di Kaltara sebagian besar di Tarakan. Hal itu disebabkan Tarakan memiliki jumlah penduduk terbesar dan indikator terbanyak yang berpotensi menciptakan kasus baru. Kendati begitu ia tidak mengetahui secara pasti jumlah ODHA di Kaltara.
"Kasus ODHA terbanyak memang di Tarakan. Pertama memang penduduknya paling banyak, kedua di sini kategori kota, banyak THM, banyak hotel, banyak aktivitas mobilitas masyarakat, daerah transit, ini yang menjadi unsur potensi," tukasnya.
Dijelaskannya, persoalan yang dihadapi Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kaltara yakni tingginya ODHA yang menghilang alias melarikan diri dari pantauan. Ia menyebut sekira 40 persen kehilangan kontak.
"Kendalanya mendeteksi secara maksimal banyaknya kasus ODHA yang hilang. Ketika dia menyadari positif, dia menghilang. Tidak mau diobati. Atau ada yang sudah melakukan pengobatan, karena merasa tidak nyaman minum obat setiap hari, akhirnya dia melarikan diri," terangnya.
"Yang bahayanya ketika dia melakukan aktivitas yang berpotensi menularkan orang lain. Misalnya, seorang WPS yang HIV, ternyata dia pindah ke daerah lain dan ternyata melakukan hal itu lagi," ucapnya.
"Yang menghilang ini hampir 40 persen dari persentase jumlah ODHA di Kaltara. Sulit dilacak karena ada yang sudah pindah, ada yang tidak mau dihubungi lagi. Teman-teman sudah berusaha maksimal sebenarnya. Kita sudah menghubungi sampai kita ke rumahnya dan menghubungi orang terdekatnya. Tapi memang WPS yang hilang ini mungkin sudah mengantisipasi hal ini sehingga kadang temannya juga tidak tahu kalau dia menghilang," tambahnya.
Dijelaskan, sejauh ini penanganan hanya terfokus pada pencegahan dan pemeriksaan secara rutin. Kendati begitu, pihaknya belum dapat menjamin keamanan tempat hiburan malam sebagai lokasi tak berpotensi HIV-AIDS. "Teman-teman Dinas Kesehatan sejauh ini cukup rutin melakukan pemeriksaan di tempat hiburan malam. Tapi itu bukan solusi konkret, karena sebenarnya bagaimana membuat THM ini menjadi tempat yang aman dari potensi penularan," ucapnya.
"Klinik VCT yang ada di puskesmas, menjadi alternatif bagi masyarakat untuk mempermudah akses pelayanan. Jadi kalau selama ini orang tidak tahu kalau nanti kena HIV atau mau periksa itu ke mana, kan ini masih tabu. Kalau disediakan VCT itu bisa menjadi tempat identifikasi lebih cepat dan bisa menjalankan pengawasannya," ungkapnya.
"Sempat ada kasus ODHA kena Covid-19 itu meninggal karena daya tahan tubuhnya sangat lemah. Jadi kebanyakan ODHA tidak meninggal karena HIV-nya, tapi karena penyakit lain," ujarnya. (*/zac/lim)