NUNUKAN - Dalam deportasi pemerintah Malaysia terhadap pekerja migran Indonesia melalui Nunukan, terdapat deportan yang diduga menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Tiga wanita dewasa dan 1 orang anak.
Data yang disampaikan Konsulat Republik Indonesia (KRI) Tawau mengidentifikasi 4 orang tersebut sebagai korban TPPO. Unit Pelaksana Teknis (UPT) Badan Perlindungan Pekerja Migran (BP2MI) Nunukan akan menindaklanjuti dan memeriksa ulang PMI yang masih menjalani karantina di Rusunawa Nunukan Selatan.
Kasi Perlindungan dan Penempatan UPT BP2MI, Arbain mengatakan, data KRI Tawau menyebut 2 orang dewasa dan 2 anak-anak yang berstatus korban TPPO. Mereka adalah, Tenry (22) bersama anaknya Rama (5), Benedikta Lolon (31) dan anaknya Tatiana Moro (9).
“Tapi, kami harus benar-benar telusuri lagi, apakah benar korban TPPO, kami mau periksa lebih detail lagi,” ungkap Arbain kepada Radar Tarakan, Jumat (22/10).
Selain pendalaman, BP2MI akan berkoordinasi dengan pihak terkait. “Jadi nanti kalau memang benar, kami serahkan kepada pihak yang berwajib untuk tindak lanjutnya, ada tembusan ke pihak kepolisian,” jelas Arbain.
PMI yang diduga menjadi korban TPPO, Tenry mengaku awal ke Malaysia pada tahun 2019 ia bersama suami dan anaknya difasilitasi seorang calo yang menjanjikan pekerjaan. Perjalanan mereka via jalur ilegal di Sebatik tanpa dokumen keimigrasian. “Kami dijanjikan kerja di perkebunan di Malaysia, sampai di sana ternyata tidak ada pekerjaan,” ungkap Tenry.
Ia membayar sang calo yang tak dikenalnya itu Rp 2 juta. Ia pun bak ‘dihipnotis’ karena iming-iming pekerjaan dan gaji tinggi.
Di Malaysia, Tenry dan suami bekerja serabutan demi mengumpulkan uang untuk pulang. Sesaat akan pulang, nasib buruk menimpa mereka, ditangkap aparat Malaysia. “Kami ditangkap sesaat mau balik kampung. Setelah itu kami ditahan di penampungan selama 8 bulan baru dipulangkan. Kami sekarang mau balik kampung saja,” beber Tenry. (raw/lim)