TANJUNG REDEB – Terus diperpanjangnya masa PPKM Level 4 hingga 2 Agustus mendatang, membuat pihak hotel dan restoran di Berau harus mengelus dada. Sepinya pengunjung berdampak pada penghasilan mereka.
Ketua Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Berau Yozzy mengatakan, masuknya Berau dalam status Level 4, tentu berdampak besar bagi penghasilan pengusaha hotel dan restoran di Bumi Batiwakkal. “Tentu rugi banyak,” katanya.
Hanya saja Yozzy tidak terlalu berkomentar terkait permasalahan hotel, namun untuk restoran ia mengaku, banyak keluhan dari para pemiliknya. Sehingga, harus memutar otak untuk memikirkan cara agar restoran di Berau tetap hidup.
“Rugi sekali tentunya. Saya rasa keputusan yang diberikan pemerintah tidak seharusnya diberlakukan di 13 kecamatan,” jelasnya.
Ia berharap agar Pemkab Berau bisa membuat kebijakan, sesuai dengan kondisi di lapangan. Karena, di setiap kecamatan memiliki kasus yang berbeda. Ada yang masuk zona merah, kuning, dan hijau. Ia berharap agar aturan tidak berlaku rata. Terlebih, dengan sistem take away, Yozzy berharap tidak ada pembatasan waktu yang singkat.
Menurut dia, tutup pukul 21.00 Wita, juga merugikan dan belum bisa memperoleh keuntungan. “Biaya operasional untuk membuka per satu hari jadi lebih besar dibandingkan keuntungan yang kami peroleh,” ungkapnya.
Menurut dia, pemerintah masih terlalu abu-abu untuk memberikan batasan tertentu sebab, di masing-masing kondisi berbeda sekali. “Saya kira semua peraturan itu dipertimbangkan sesuai kondisi, daripada harus serentak dengan peraturan yang sama,” tegasnya.
Sementara itu, Sekretaris Harian PHRI Berau Dede Anugrah yang juga menjadi GM di salah satu hotel di Berau menjelaskan, kondisi hotel saat ini masih harus bekerja keras. “Iya, ada penurunan okupansi rerata hotel-hotel di Berau sebanyak 50 persen. Yang tidak bisa bertahan terpaksa masih ada yang tutup,” jelasnya.
Saat ini, diakui oleh Dede, permintaan kamar memang cenderung ada, tetapi mereka yang menginginkan untuk isoman setelah perjalanan. Tentu menurut Dede, hal ini susah, karena tidak semua hotel bisa menerima pasien isoman. “Tidak ada fasilitas pemerintah yang menjamin dan tidak mau mengambil risiko,” paparnya.
Ia menuturkan, stigma masyarakat, apabila hotel tersebut telah menerima pasien isoman, tentu akan jelek, masyarakat tentu khawatir jika masih tertinggal virus tersebut di hotel. Ia menilai, tidak semua masyarakat paham akan situasi ini.
“Kalau hotel-hotel yang masih sanggup survive pasti tidak mau menerima pasien isoman, karena berisiko sekali,” ungkapnya.
Menurut Dede, saat ini pemerintah jika tidak memfasilitasi untuk hotel, lebih baik memberikan kesempatan pada sejumlah rumah makan untuk bekerja sama. “Ya misalkan rumah makan, sampai PKL itu saling sinergi lah, direkrut untuk katering untuk isoman pasien, kan lebih terbantu,” pungkasnya. (hmd/ind/k15)