Covid-19 membawa dampak luas bagi perekonomian. Tak terkecuali bagi masyarakat Kalimantan Utara (Kaltara). Tokoh masyarakat di perbatasan juga terpanggil untuk menangani dampak langsung dari pandemi yang muncul sejak awal 2020 itu.
---
CERITA tokoh masyarakat perbatasan menangani pandemi berlanjut. H. Nuwardi Pakki atau dikenal dengan nama H. Momo sempat mengusahakan agar ada alat pemeriksaan jenis polymerase chain reaction (PCR) atau pemeriksaan swab, minimal di Nunukan, ibu kota Kabupaten Nunukan, di mana berdiri sebuah rumah sakit tipe C.
H. Nuwardi menunjukkan gambar alat PCR dibanderol Rp 2,5 miliar. Motivasinya berawal dari diskusi lanjutan dengan para tenaga kesehatan (nakes) yang menangani pasien Covid-19 di Sebatik.
“Saya ditunjukkan Pak Haji (H. Nuwardi) alat itu, merek Jerman. Saat itu Pak Haji menanyakan apa hambatan tenaga kesehatan menghadapi Covid-19 awal 2021 lah. Kami jawab kadang kami periksa hari ini, 10 hari ke depan baru ketahuan hasilnya. Keburu sembuh pasiennya baru diketahui positif. Ketika kami ambil sampel, baru dikirim ke kabupaten, kabupaten baru mengirim lagi ke Tarakan, dan Tarakan kirim ke Surabaya. Kalau kita punya alat itu (PCR), bisa lebih cepat dalam hal tracing (penelusuran kasus),” cerita Kepala Puskesmas Sebatik, drg. Andi Syahriful Asri, Rabu (30/6).
“Pak Haji cari informasi, kemudian menunjukkan gambar alat itu. Sebenarnya laboratorium bisa saja kami disesuaikan dengan bangunan yang ada, untuk tenaga terlatih, bisa diikutkan pelatihan 3-4 hari. Saya sempat koordinasi ke Unhas (Universitas Hasanuddin Makassar, Sulawesi Selatan). Apakah sudah bisa, tanya Pak Haji. Pak Haji siap memberangkatkan (pelatihan), bahkan meminta kami mencarikan siapa yang mau dilatih. Dua atau tiga orang biar ada back up-nya,” kata Andi lagi.
Kendala pun muncul kemudian, alat PCR terkendala aturan atau regulasi dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes). “Setelah itu sudah aman untuk pelatihan, kami fokus lagi ke sarana prasarana, ternyata sarana prasarana ini harus di bawah pemerintah. Saat itu tidak bisa kalau tidak ada izin bangunan untuk disetujui sebagai pemeriksaan PCR. Walaupun ada alat, ada tenaga terlatih. Pusat yang menentukan laboratorium mana yang ditunjuk atau sesuai dengan standar untuk melaksanakan PCR. Yang terdekat di Kalimantan Utara, hanya Tarakan. Walaupun Pak Haji beli, enggak bisa digunakan di Sebatik. Hanya RSUD Tarakan yang memenuhi saat itu. Laboratorium kedap udara,” urainya.
“Enggak jadi beli, tapi Pak Haji merekomendasikan masuknya PCR itu ke RSUD Tarakan dan Dinkes Provinsi Kaltara. Dari pemerintah daerah juga sempat mau beli, tapi ternyata ada dari pusat,” ungkap Andi.
Hingga hari ini, keterlibatan tokoh masyarakat di perbatasan terus ada, merujuk pada pedoman terbaru. Misalnya saat ini pedoman pemberlakukan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) mikro. “Kalau PPKM mikro itu kan dia skalanya lebih kecil lagi artinya tingkatannya sampai tingkatan RT, contoh mengedukasi masyarakat, saling menjaga, kalau kurang sehat periksakan diri untuk memastikan diri. Kami sudah mulai menguasai alur jadi memang dari sisi logistik itu insyaallah aman sudah, dari sisi peralatan-peralatan ya kami sudah mulai aman. Karena kami sudah disuplai oleh pemerintah jadi memang saat ini dibutuhkan dukungan moril dan dukungan tokoh-tokoh masyarakat. Tokoh masyarakat lebih banyak memberi contoh,” tukas Andi. (*/bersambung/lim)