Speedboat Non-reguler yang Diminati, Penghubung Pelosok, Butuh Pengaturan Jelas

- Senin, 21 Juni 2021 | 12:00 WIB

Speedboat non-reguler tak bisa dilepas dari Kalimantan Utara (Kaltara). Menjadi satu dari sekian moda utama perhubungan. Speedboat non-reguler diiminati masyarakat karena mudah menjangkau pelosok, tarifnya relatif lebih murah.

 

Selain itu, hal lain yang menjadi pertimbangan masyarakat pengguna, yakni lebih mampu mengakomodasi dalam hal logistik. Namun belakangan keberadaannya disorot usai adanya kecelakaan. Namun, speedboat non-reguler lebih membutuhkan pengaturan jelas oleh seluruh unit tugas yang memiliki kewenangan akan perhubungan laut dan sungai. 

 

THALIB, warga Tarakan hampir setiap pekan menggunakan speedboat non-reguler. Bukan ia tak mau menumpang speedboat reguler, hanya lokasi yang ingin ia tuju tak dilayani speedboat reguler. “Di Kaltara ini masih banyak tempat yang memang dilayani non-reguler. Itu jelas persoalan biaya. Kalau reguler mau masuk ke jalur-jalur non-reguler, biayanya tak menutupi,” ujar pria yang kesehariannya bekerja sebagai petani ini.

Menurutnya lagi, speedboat non-reguler juga lebih mudah menjangkau pelosok. “Speedboat non-reguler ini kan lebih kecil yah. Tapi, karena kondisi itu, justru lebih mudah menjangkau pelosok. Apalagi, ini bisa setiap waktu. Artinya kapan warga butuh, pasti ada,” tambahnya.

Lain lagi dengan Ibrahim, menggunakan jasa non-reguler justru karena harga yang terjangkau. “Saya kan biasa bawa barang banyak. Kalau reguler, pastinya terbatas. Nah, kalau non-reguler bisa lebih murah. Makanya susah juga kalau bawa barang banyak, tapi naik reguler, apalagi kita yang masuk ke dalam-dalam itu. Jauh kan,” singkatnya.

HN, salah satu nakhoda di Tarakan, mengakui sebagian permasalahan speedboat non-reguler yakni perizinan. Seperti yang disorot selama ini. Namun, itu bukan tanpa alasan. Baginya perizinan butuh proses yang panjang dan memakan biaya sangat besar. Sebab itu, sebagian pelaku usaha tidak sanggup untuk melewati tahap tersebut.

“Kami bukannya apa, bukan kami tidak patuh aturan. Tapi aturan di Indonesia ini sepertinya memang dibuat susah. Jadi orang mau mengurus legalitas mesti harus lewat proses panjang,” ujarnya, Jumat (18/6).

Selain pengurusan yang dirasa sangat panjang, ia mengakui jika untuk mendapatkan legalitas, pemilik pun mau tidak mau harus melakukan katrol pada bodi. Katrol yang dimaksud melakukan redesain bodi mengikuti ukuran standar dan kapasitas mesin yang dianjurkan. Meski demikian, ia tidak mengetahui secara pasti berapa biaya yang diperlukan jika harus meredesain bodi.

“Itu baru tahapnya belum lagi biayanya. Karena ada ukuran standar speedboat yang diwajibkan dan jumlah mesinnya. Otomatis speedboat itu harus dikatrol, harus mengubah ukuran,” tukasnya.

Ia tidak menampik, usaha speedboat cukup menjanjikan dan memiliki keuntungan besar. Namun lagi-lagi, keuntungan tersebut dinilai tidaklah cukup jika harus digunakan mengurus legalitas. Sementara di sisi lain, para nakhoda harus tetap bekerja menafkahi keluarga.

“Memang untungnya lumayan, cuma saya rasa, pemilik tidak sanggup membiayai kalau mengikuti itu. Yang punya usaha tidak ada pilihan, kami pun juga tetap harus cari uang. Kalau kami pilih-pilih bawa speedboat, kami tidak bisa kerja,” ungkapnya.

 

Halaman:

Editor: izak-Indra Zakaria

Rekomendasi

Terkini

Pemkab Nunukan Buka 1.300 Formasi untuk Calon ASN

Kamis, 18 April 2024 | 12:44 WIB

Angka Pelanggaran Lalu Lintas di Tarakan Meningkat

Kamis, 18 April 2024 | 11:10 WIB
X