Produksi Sutra, Selembar Kain Dihargai hingga Rp 2 Juta

- Senin, 12 April 2021 | 10:48 WIB
PROSES MENJADI BENANG: Budi daya ulat sutra oleh Kelompok Tani Hutan (KTH) Floresta Nunukan, menjadi budi daya ulat sutra pertama se-Kalimantan./RIKO ADITYA/RADAR TARAKAN
PROSES MENJADI BENANG: Budi daya ulat sutra oleh Kelompok Tani Hutan (KTH) Floresta Nunukan, menjadi budi daya ulat sutra pertama se-Kalimantan./RIKO ADITYA/RADAR TARAKAN

Produksi sutra oleh Kelompok Tani Hutan (KTH) Floresta Nunukan, menjadi budi daya sutra pertama di Kalimantan. Dari bahan baku itu, KTH Floresta Nunukan juga memproduksi kain sutra.

RIKO ADITYA 

BUDI daya ulat sutra oleh KTH Floresta Nunukan sudah berjalan sejak 2018. Proses budi daya, dilakukan dari ulat sutra masih berupa telur hingga menjadi benang.

Petani diberikan bantuan telur sutra dari Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan (Sulsel) oleh Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Nunukan. Telurnya sebanyak 25.000 butir tersimpan dalam 1 kotak kecil sebesar amplop. Telur itulah yang akan menetas menjadi ulat dan dibudidaya.

Pengiriman telur juga dengan perhitungan, butuh 3 hari setelah sampai di Nunukan, telur sudah harus menetas. Selanjutnya proses menetas ulat hingga menjadi kokon atau kepompong, membutuhkan waktu selama 21 hari. “Selama 21 hari itulah kita budi daya, memberikan makanannya berupa daun murbei yang kita tanam sendiri di sini. Ulat akan kita budi daya sampai menjadi kokon. Kalau sudah menjadi kokon, ulat sudah tidak akan makan. Setelah menjadi kokon, kami sudah bisa produksi benang sutranya,” ujar Ketua KTH Floresta Nunukan, Laurensius.

Sebelum pada proses pengambilan benang, kokon terlebih dahulu dijemur hingga induknya mati. Penjemuran juga dilakukan supaya kokon tidak jadi kupu-kupu. Jika jadi kupu-kupu, kokon akan berlubang dan tidak bisa diproses menjadi benang. “Saat pemilihan kokon juga kami lakukan penyortiran. Karena terkadang, ada 1 kokon 2 ulat di dalamnya,” tambah Laurensius.

Dari hasil budi daya, KTH Floresta sudah pernah membuat selendang sutra dan sbeberapa lembar kain. Sayang produksi tidak dilakukan rutin. Bahkan, dalam setahun, mereka hanya memproduksi sekali saja. Padahal, jika dilakukan rutin, potensi benang sutra akan sangat banyak diproduksi dari Nunukan. “Belum bersinambungan, terkendala anggota yang juga sibuk dengan pekerjaan sehari-harinya, meski kami punya 15 anggota,” tutur Laurensius.

Tak hanya itu, terkendala pakan dari daun murbei yang tak selalu subur ditanam di Nunukan. Kemudian terkadang pemeliharaan juga masih diganggu hewan pemakan ulat, seperti kadal.

“Pernah ulat kami dimakan kadal sampai habis di tahun 2020 lalu, akhirnya tidak ada yang jadi. Kalau makanannya daun murbei ini, kadang-kadang timbul, kadang tidak juga, tidak subur di sini,” tambah Laurensius lagi.

Sementara itu, Plt. Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) KPH Nunukan, Roy Leonard mengatakan, budi daya ulat sutra oleh KTH Floresta Nunukan menjadi budi daya ulat sutra kedua di Kalimantan. Sejak 2015 budi daya ulat sutra sudah pernah dilakukan di Krayan Induk dan Krayan Selatan.

Ide berasal dari Dinas Kehutanan Nunukan pada 2015 silam yang memikirkan bagaimana ada produk yang bisa menghasilkan sesuatu bernilai besar, tapi ringan. Akhirnya petani diberikan peluang budi daya ulat sutra oleh KPH Nunukan pada waktu itu. Peralihan Undang-Undang 23/2014 tentang Pemerintah Daerah yang menjadikan dinas kehutanan ditarik ke Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kaltara. Setelah itu budi daya pun vakum dan hilang. “Ya pernah Krayan Induk dan Krayan Selatan tahun 2015, budi daya juga pernah sampai kokon dan dikirim ke Sulawesi untuk dijadikan benang karena alat pemintal sutra tidak ada waktu itu,” ungkap Roy.

 

Munculnya KTH Floresta pun, berawal adanya pemberdayaan masyarakat di kawasan hutan, akhirnya muncullah KTH Floresta Nunukan kembali membudidaya ulat sutra sejak 2018 lalu. KPH Nunukan pun siap mendukung untuk peningkatan SDM dan menyiapkan sejumlah keperluan alat yang dibutuhkan dalam membudidaya ulat sutra, meski sejatinya peralatan juga masih pinjam dari Wajo, Sulsel.

Terkendala pakan memang menjadi tantangan saat ini. Sebab, di kawasan hutan, lahannya sangatlah terbatas. Belum lagi, belum konsistennya petani yang ingin fokus melakukan budidaya, juga menjadi kendalanya saat ini. Hal ini, tentunya harus membangun kerja sama dengan berbagai pihak.

Halaman:

Editor: anggri-Radar Tarakan

Rekomendasi

Terkini

PLBN Sei Menggaris Segera Operasional

Sabtu, 20 April 2024 | 15:30 WIB

Pemkab Bulungan Beri Keringanan BPHTB

Sabtu, 20 April 2024 | 11:50 WIB

Di Bulungan, 400 Ha Lahan Ludes Terbakar

Sabtu, 20 April 2024 | 10:28 WIB

KMP Manta Rute KTT-Tarakan Kembali Beroperasi

Sabtu, 20 April 2024 | 10:01 WIB
X