Tilang Elektronik Didukung, Pam Swakarsa Dikritik

- Jumat, 22 Januari 2021 | 11:27 WIB
KAPOLRI
KAPOLRI

KOMJEN Listyo Sigit Prabowo resmi menjadi kepala Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Salah satu program unggulannya adalah electronic traffic law enforcement (ETLE) atau yang lebih dikenal sebagai tilang elektronik. Selama ini tilang elektronik ini baru tren di Jakarta, namun ternyata Korlantas Polri telah berupaya menerapkan tilang elektronik di sejumlah kota lainnya.

Setidaknya ada 5 kota yang telah menerapkan dan menguji coba tilang elektronik tersebut. Selain Jakarta, ada juga, Makassar, Semarang, Solo dan Surabaya. Direktur Keamanan dan Keselamatan (Dirkamsel) Korlantas Polri, Brigjen Chrsyhnanda Dwilaksana menyebutkan, memang ETLE atau tilang elektronik akan diterapkan se-Indonesia. ”Sistem ini dikembangkan di seluruh Indonesia,” ujar profesor ilmu kepolisian tersebut, Kamis (21/1).

Dalam pelaksanaannya tilang elektronik ini menjadi kebijakan setiap direktorat lalu lintas di tiap kepolisian daerah. Dengan tilang elektronik ini, maka semua sejajar di mata hukum. ”siapa saja yang melanggar, baik, masyarakat umum, aparat penegak hukum dan pejabat negara, begitu melanggar lalu lintas tercatat,” urainya.

Di Jakarta, persoalan paling utama dalam penerapan tilang elektronik adalah jumlah closed circuit television (CCTV). Karena itu, Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya terus berupaya menambah jumlah CCTV. Direktur Lalu Lintas Polda Metro Jaya, Kombes Pol Sambodo Purnomo Yogo menuturkan, pihaknya sedang mengajukan proposal penambahan CCTV atau kamera untuk ETLE yang akan dipasang di jalanan ibu kota. ”Kami telah mengajukan ke Pemda DKI untuk penambahan sekitar 50 kamera ETLE,” tuturnya dalam keterangan tertulisnya kemarin (21/1).

Jumlah kamera yang saat ini telah beroperasional mencapai 57 unit. Dia mengatakan, kamera tersebut mampu untuk mendeteksi semua jenis pelanggaran lalu lintas. ”Kamera dapat menangkapan pelanggaran itu,” paparnya.

Ada sejumlah pelanggaran yang bisa dideteksi kamera ETLE yakni, tidak memakai helm, menggunakan handphone, melanggar rambu dan marka, tidak memakai sabuk keselamatan dan bahkan penggunakan plat nomor palsu. ”Tentunya harus siap untuk ditilang yang melanggar itu,” jelasnya.

Diketahui, Untuk di Makassar telah menerapkan tilang elektronik sejak 2018. Lalu, penerapan tilang elektronik di Solo juga telah dilakukan sejak 2019. Untuk dua kota lain, Semarang dan Surabaya sempat melakukan uji coba tilang elektronik tersebut.

Sementara Pengamat Transportasi Djoko Setijawarno mendukung langkah Komjen Listyo Sigit Prabowo dengan program ETLE. Menurutnya, langkah itu sangat tepat untuk jalanan Indonesia. ”Bagus dan semoga serius diterapkan,” paparnya dihubungi kemarin.

Namun begitu, saat ini ada tantangannya yang perlu dicari solusinya. Yakni, kemungkinan adanya penggunaan plat nomor orang lain, serta masyarakat yang jual beli kendaraan, namun tidak balik nama. ”Belum lagi ada saja ragam model kecurangan lainnya,” urainya.

Dia mengatakan, ada juga kebiasaan pejabat yang mengganti plat merah kendaraan menjadi plat hitam. Yang pasti, masyarakat harus sadar kelalaiannya. “Lalu, pejabat juga harus memberi contoh,” tuturnya.

Program ETLE dari Komjen Listyo Sigit memang perlu didukung. Namun, dalam visi dan misiNYA ada beberapa yang perlu disoroti. Koalisi Reformasi Sektor Keamanan yang terdiri atas KontraS, Amnesty International Indonesia, HRWG, LBH Jakarta, Setara Institute, PBHI, dan ICW menyoroti beberapa poin dalam visi misi yang disampaikan oleh Listyo dalam fit and proper test di DPR. Di antaranya berkenaan dengan akuntabilitas dan brutalitas aparat kepolisian ketika berhadapan dengan massa yang berdemonstrasi.

Koordinator KontraS, Fatia Maulidiyanti menilai, hal itu harus menjadi perhatian khusus. Sebab, sudah berulang kali aparat kepolisian bertindak represif terhadap aksi-aksi massa. Mulai gerakan mahasiswa dan pelajar dalam aksi bertanda pagar reformasi dikorupsi sampai penolakan Undang-Undang Cipta Kerja. ”Tindakan brutal terus terjadi karena tidak ada evaluasi menyeluruh dan minimnya pengawasan serta akuntabilitas terkait penggunaan kekuatan dalam menangani unjuk rasa,” jelasnya.

Tindak kekerasan oleh aparat kepolisian kepada masyarakat sipil, lanjut dia, tidak sedikit yang menimbulkan korban jiwa. Fatia menyebut, lemahnya proses hukum terhadap personel Polri yang bertindak melawan hukum menjadi salah satu alasan tindak kekerasan secara sewenang-wenang oleh aparat kepolisian masih terjadi. ”Tidak ada penghukuman secara tegas, baik secara pidana maupun etik bagi aparat yang melakukan tindak kekerasan,” jelasnya.

Bahkan, KontraS juga mendapati ada pembiaraan dari atasan pelaku tindak kekerasan tersebut. Alhasil praktik-praktik kekerasan oleh aparat kepolisian terus bermunculan. ”Kami berpendapat jika masalah itu tidak dievaluasi maka sulit untuk memiliki pemolisian demokratis di bawah kepemimpinan Listyo,” tegas dia. Mereka juga tidak melihat ada langkah atau program strategis yang dibeberkan oleh Listyo untuk menyelesaikan persoalan tersebut.

Halaman:

Editor: anggri-Radar Tarakan

Rekomendasi

Terkini

Ini Dia Delapan Aksi Konvergensi Tekan Stunting

Kamis, 25 April 2024 | 12:30 WIB

Dewan Negara Malaysia Kagum Perkembangan Krayan

Kamis, 25 April 2024 | 09:30 WIB

Gubernur Kaltara Sebut Arus Mudik-Balik Terkendali

Selasa, 23 April 2024 | 11:15 WIB

PLBN Sei Menggaris Segera Operasional

Sabtu, 20 April 2024 | 15:30 WIB

Pemkab Bulungan Beri Keringanan BPHTB

Sabtu, 20 April 2024 | 11:50 WIB
X