Dievakuasi ke Surabaya, Sesak Teramat di Ketinggian

- Kamis, 14 Januari 2021 | 11:19 WIB

Memasuki hari keempat pasca dinyatakan terkonfirmasi Covid-19 lewat swab test PCR 3 Januari 2021 lalu. dr. Mukti Fahimi, Sp.PD, FINASIM, pasien Covid-19 yang terpapar untuk kali kedua, masih terus berjuang. 

ANDI PAUSIAH

WAKTU menunjuk pukul 22.00 WITA. Sudah lima jam, dr. Mukti berada dalam pembaringan di ruang isolasi khusus RSUD Tarakan milik Pemprov Kaltara. Ini rumah sakit ketiga yang ia tempati setelah sebelumnya dirawat di Rumkital Ilyas Tarakan dan Rumah Sakit Umum Kota Tarakan (RSUKT). Menderita Covid-19 untuk kedua kalinya.

Ia dilarikan ke RSUD pada pukul 17.00 WITA dalam kondisi tak bisa berkomunikasi verbal kala itu. Pukul  22.00 WITA, ia dihubungi Komandan Lantamal XIII Tarakan, Laksamana Pertama TNI Haris Bima Bayuseto yang juga sekaligus menjadi mentor dan orang terdekatnya. Danlantamal menyampaikan perintah dari Asop KSAL agar ia dievakuasi menuju Surabaya.

“Badan saya gak kuat harus menempuh 5 jam perjalanan di udara,” kata dr. Mukti mengulang jawabannya dari balik telepon saat itu. Namun lanjutnya, Danlantamal begitu mendukung dirinya dan tetap harus semangat meski dalam kondisi kritis.

Sun kamu harus fight, harus kuat jangan mau kalah dengan Covid.  Begitu beliau terus memotivasi saya. Beliau bener-benar seorang pemimpin sejati. Walau saya saat itu low respons menjawab karena kondisi saya,” lanjut dr. Mukti. Selang beberapa menit, dr. Imam, Sp.ThT, mantan kepala Rumkital Ilyas Tarakan yang juga sahabat terdekatnya menghubunginya. Pernyataan yang sama, ia diyakinkan harus segera dievakuasi.

Pria lulusan Pa Karier 1999 yang juga lulusan Sesko AL (Kasubdis Faskes Diskesal) berkali-kali berusaha menyakinkan dirinya agar malam itu mau dievakuasi ke RSP TNI AL Ramelan Surabaya. Satu permintaan dr. Mukti saat itu, ia mau dievakuasi asalkan actemra (obat anti-inflamasi) dimasukkan dalam tubuhnya malam itu juga. “Tanpa diredakan dengan itu, maka akan terjadi badai sitokin dalam tubuh saya. Saya gak akan mampu terbang selama 5 jam,” ucapnya.

Badai sitokin, istilah dalam medis yakni sinyal sistem kekebalan dalam tubuh untuk melakukan tugasnya. Namun ketika terjadi pelepasan sitokin yang terlalu banyak, maka bisa menyebabkan kerusakan dalam tubuh. “Setiap tarikan napas berasa seperti teriris pisau di dada ditambah kondisi mual dan nyeri perut hebat,” ungkap pria yang mengambil spesialis penyakit dalam di UNAIR 2008-2013 ini.

Ia menyebutkan ini adalah operasi evakuasi medis berbiaya ratusan juta hanya untuk menyelamatkan satu nyawa perwira yang terpapar Covid-19 kali kedua. “Malam itu bagi saya terasa detik per detik merasakan sakitnya luar biasa. Kondisi saya yang sudah sangat septik, kondisi pasien sesuai penilaian klinis sudah tampak sakit berat dengan berbagai penyulit,” ungkapnya.

Ia sangat mengerti perhatian pimpinan TNI AL begitu besar terhadap keselamatan 1 prajuritnya. Asop KSAL, Laksda TNI Didik Setiyono sangat perhatian terhadap keselamatan prajurit. Dan lanjutnya, apa pun beliau upayakan meskipun ia tahu untuk evakuasi membutuhkan biaya besar. Bahkan lanjutnya, sebelum dirinya, Laksda TNI Didik Setiyono sudah pernah memerintahkan untuk mengevakuasi 1 prajurit berpangkat kopral juga terpapar Covid-19 dan sangat membutuhkan terapi plasma convalencentSeptember 2020 lalu. “Itu beliau lakukan tanpa pandang pangkat,” ujarnya.

Sehingga, sejalan dengan kebijakan KSAL, bahwa kegiatan evakuasi medis bagi setiap prajurit yang membutuhkan perawatan medis lanjutan, harus  maksimal di fasilitas layanan kesehatan yang lebih lengkap yang dimiliki oleh TNI AL  dan itu harus benar-benar terlaksana dengan baik.

Di tempat berbeda, rekan-rekannya sesama spesialis FK-91 dikomandoi dr. Brahmana dan Prof. Thaha terus memberikan masukan kepada dr. Linda, Sp.PD, DPJP, di RSUD Tarakan. Beliau pernah satu almamater dengan dr. Mukti saat pendidikan di UNAIR. Dia jugalah yang memantau dan melakukan terapi kepada dr. Mukti di RSUD Tarakan. Rekan-rekannya sesama dokter sepesialis segera mencari obat actemra menggunakan jaringan rumah sakit yang ada di Surabaya. Ia merasa bersyukur dan bangga, walaupun sudah bertugas terpisah dan di tempat berbeda, namun semangat dan kekompakan rekan-rekannya sesama dokter FK-91 yang menjadi almamater kebanggaannya tetap terjaga. 

“Mereka selalu peduli terhadap siapa pun yang sakit. Dan penggeraknya mereka yakni dr. Bam dan Prof. Thaha. Inilah arti sebenarnya persaudaraan ikatan keluarga sebuah teman sejawat yang saya rasakan,” ungkapnya.

Akhirnya, actemra dan plasma bisa ditemukan lewat keluarga keponakan yang saat ini bekerja di Toyota. Perjuangan mendapatkan dua komponen obat tersebut cukup panjang dan ketersediaannya sangat terbatas. Dan malam itu juga, akhirnya actemra dengan full dosis 600 mg dimasukkan ke dalam tubuhnya sekira pukul 23.00 WITA. “Atas izin Allah badan saya yang sebelumnya panas 40 derajat Celsius langsung turun. Dan saya bisa tidur,” ujarnya.  

Halaman:

Editor: anggri-Radar Tarakan

Rekomendasi

Terkini

Pemkab Nunukan Buka 1.300 Formasi untuk Calon ASN

Kamis, 18 April 2024 | 12:44 WIB

Angka Pelanggaran Lalu Lintas di Tarakan Meningkat

Kamis, 18 April 2024 | 11:10 WIB
X