PROKAL.CO,
PENGAMAT Politik sekaligus Akademisi Fisipol Universitas Kaltara (Unikaltar) Jimmy Nasroen, M.A, berpendapat pengawasan dan pemberian sanksi terhadap pasangan calon (paslon) yang berpotensi melakukan pelanggaran, khususnya money politics belum tegas. “Sehingga mengenai money politics itu tidak menjadi sesuatu yang menakutkan bagi paslon,” katanya kepada Radar Tarakan.
Menurutnya, money politics ini seperti angin, yang tidak terlihat namun dapat dirasakan. Transaksi sosial yang diinginkan oleh masyarakat, dan menjadi kesempatan bagi paslon untuk memenangkan suara. Bahkan money politics ini sudah lazim di tengah masyarakat.
“Seperti ada pembeli dan penjual. Jadi paslon dan masyarakat punya keinginan seperti itu. Kecuali kalau salah satu pihak yang tidak menginginkan. Kalau kita lihat di beberapa tempat, money politics itu memang transaksi yang lumrah,” bebernya.
Dapat dikatakan standar atau kualitas politik dalam pandangan masyarakat ini terbatas. Sehingga tidak memikirkan jangka panjang, apa yang akan dilakukan paslon dalam setiap periode pemerintah kepala daerah terpilih. Melainkan masyarakat lebih tertarik dengan jangka pendek, seperti money politics.
“Orang tidak berpikir 5 tahun ke depan paslon itu harus melakukan apa. Tapi yang mereka pikirkan transaksi jangka pendek, seperti money politics,” lanjutnya.
Sudut pandang yang dimiliki masyarakat juga dapat terbentuk dari janji politik yang tidak ditepati. Yang terjadi secara berulang setiap 5 tahun, sehingga menjadi traumatik bagi masyarakat untuk mempercayai paslon tersebut. Sehingga masyarakat mengambil jalan pintas, untuk mendapatkan sesuatu dari paslon tersebut. “Sehingga lebih baik dapat duluan (money politics), daripada janji-janji politik tidak ditepati. Memang faktanya, pemimpin dianggap tidak menepati janji, sehingga masyarakat tidak berharap janji politik lagi,” bebernya.