Ia menceritakan, setidaknya dalam menghasilkan minyak kayu putih petugas UPTD harus menyuling selama 7 jam untuk menghasilkan 3 liter minyak kayu putih. Tentu hal tersebut tidak sebanding dengan pengerjaan. Namun setidaknya, upaya tersebut dilakukan agar hutan Kota Tarakan terus terjaga.
"Proses penyulingannya itu kami menggunakan sistem penyulingan langsung, ada penyulingan uap. Kalau penyulingan uap itu airnya beda, daunnya beda. Penyulingannya ini dilakukan sekitar 6 jam. Setelah daunnya dikeluarkan ditutup kembali kemudian dilakukan suling kosong untuk membersihkan sisa-sisa daunnya sekitar 1 jam," terangnya.
Meski memiliki jumlah produksi yang minim, namun produk minyak kayu putih tersebut memiliki ciri khas yang beda dari minyak kayu putih biasa. Sehingga hal itu membuat, para wisatawan yang berkunjung ke Kota Tarakan, kerap menjadikan minyak kayu putih produksi olahan lokal tersebut sebagai oleh-oleh.
"Untuk keunggulannya mungkin kami belum memahami secara pasti. Tapi minyak kayu putih yang kami hasilkan memiliki kandungan cineol cukup besar dari hasil penelitian laboratorium Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman kandungan cineol di Tarakan mencapai sekitar 70 sampai 90 persen. Semakin besar cineol maka aroma khas minyak kayu putih semakin kuat," tuturnya.
Untuk penjualannya, minyak kayu putih produksi lokal tersebut baru merambah pasar UKM. Meski demikian, minyak kayu putih tersebut saat ini menjadi incaran wisatawan luar negeri.
"Produk yang dihasilkan sudah siap jual, untuk sementara baru kami jajakan di pasar UMKM dan menjadi oleh-oleh ciri khas Kota Tarakan. Beberapa kali dijual ke luar Tarakan. Bahkan sempat ada beberapa tamu dari luar negeri yang membelinya seperti Malaysia, Brunei, dan Filipina," terangnya.