Omnibus Law Timbulkan Masalah Tata Kelola Lingkungan

- Senin, 19 Oktober 2020 | 11:19 WIB
Demo penolakan omnibus law di Kaltara.
Demo penolakan omnibus law di Kaltara.

TARAKAN - Disahkannya UU Omnibus Law yang banyak mendapat penolakan dari berbagai pihak seperti buruh, aktivis lingkungan dan lainnya akan menjadi pekerjaan besar bagi pemerintah.

Dalam hal ini, media menjadi garda terdepan untuk mengawal UU Omnibus Law. Sebab media memiliki peran yang sangat penting untuk mengawal isu yang dianggap tidak berpihak pada masyarakat. Salah satu yang sangat berdampak besar ialah dari sektor industri perkebunan sawit.

Ketua Umum Society of Indonesian Environtmental Journalist (SIEJ), Rochimawati mengatakan bahwa persoalan perkebunan sawit dinilainya perlu memiliki perbaikan tata kelola. Dengan disahkannya UU Omnibus Law, justru malah membuat proses perbaikan tata kelola sawit menjadi runyam.

Rochimawati mengakui bahwa isu paling terbesar dalam Omnibus Law ialah persoalan ketenagakerjaan, namun dalam hal ini media tidak boleh melupakan isu lingkungan karena hal itu juga menjadi poin penting. Sehingga dirinya menginginkan agar media turut mengawal isu lingkungan dalam UU Omnibus Law.

“Saya berharap selanjutnya akan ada news room dari media yang akhirnya mengangkat isu ini. Jangan hanya bagaimana kasus peristiwa demo, karena isu keberlanjutan lingkungan di negara kita,” tuturnya.

Direktur Eksekutif Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Renaldo Sembiring menjelaskan, permasalahan tentang lingkungan dan sumber daya alam telah terjadi sebelum adanya UU Omnibus Law. Dalam hal ini, ICEL telah melakukan kritik terhadap UU Cipta Kerja yang nama awalnya Omnibus Law karena tidak memiliki kejelasan judul pada 28 Januari 2020 jauh sebelum pemerintah menyerahkan draft resmi ke DPR.

“Jadi kalau ada yang bilang kenapa baru dikritik sekarang, itu sudah ada dalam aplikasi kami yang sudah mengkritik sejak Januari 2020 dengan dasar dari berbagai macam aturan yang sudah ada sebelumnya dan juga dari beberapa statement yang sebelumnya punya kecenderungan terpenting akhirnya terbukti seperti menghapus sisi lingkungan, melonggarkan partisipasi publik dalam amdal dan mengutak atik konsep terkait penegakan hukum,” jelasnya.

Secara umum, Renaldo memberikan penjelasan bahwa para pemerhati lingkungan dan aktivis mempermasalahkan UU Cipta Kerja dikarenakan berdasarkan UU nomor 12 tahun 2011 disebutkan bahwa UU dapat diimplementasikan jika adanya asas keterbukaan dan asas dapat dijalankan.

“Banyak asas-asas yang dipelajari pembentukan sebuah UU, tapi dua asas ini cukup krusial. Ini sejak awal sudah tidak terbuka, histori proses pembahasannya pun tidak ada. Hal ini tentu bukan jadi hal yang baik bagi negara Indonesia. Asas dapat dijalankan juga menjadi pertanyaan besar, kan awalnya dalam 1.812 halaman itu ada banyak sekali peraturan yang harus dibuat, sekitar 400-an. Kemudian ada perubahan terminulus afrasa yang diganti dengan frasa dalam, misalnya ketentuan lingkungan terkait dengan materi yang diatur dalam bakumutu,” tuturnya.

Jika membaca UU tidak harus dibaca dalam satu pasal, namun harus dipahami keseluruhan UU. Sangat sulit untuk mengerti UU jika hanya membaca pasal-pasal yang ada dalam UU tersebut. Permasalahannya adalah naskah akademik dari UU Cipta Kerja, tidak cukup akademik maksudnya dari segi metodologis, banyak naskah akademik yang dipertanyakan seperti banyaknya masalah implementasi, operasionalisasi namun metodenya yuridisformatif.

“Kenapa memilih metode yuridisformatif? Itu tidak dijelaskan. Harusnya kajian yang baik itu dibedah dan dijelaskan. Yang lebih fatal lagi, tidak ada evaluasi. Kita semua tahu bahwa UU itu perlu dilakukan evaluasi, misalnya antara norma dengan implementasi,” tuturnya.

UU Cipta Kerja juga dinilai Renaldo tidak menjawab permasalahan saat ini, khususnya tentang pengaruh pada lingkungan hidup. Namun, dalam hal ini ada beberapa hal positif seperti perhutanan sosial yang dimasukkan ke dalam UU Cipta Kerja, dianggap ide positif. Namun dirinya berpikir lebih banyak hal-hal yang mungkin untuk diselesaikan, namun justru tidak diselesaikan misalnya ada persepsi penegakan hukum yang selama ini bermasalah dalam pelaksanaannya.

UU lingkungan ini ada masalah bagi masyarakat terkait hak masyarakat untuk mengakses informasi dan menggunakan hak untuk menuntut keadilan. Ini menjadi penting karena pengelolaan lingkungan hidup akan baik jika diberikan akses informasi yang sesuai bagi masyarakat. (shy/ana)

Editor: anggri-Radar Tarakan

Rekomendasi

Terkini

Pemkab Bulungan Beri Keringanan BPHTB

Sabtu, 20 April 2024 | 11:50 WIB

Di Bulungan, 400 Ha Lahan Ludes Terbakar

Sabtu, 20 April 2024 | 10:28 WIB

KMP Manta Rute KTT-Tarakan Kembali Beroperasi

Sabtu, 20 April 2024 | 10:01 WIB

Pemkab Nunukan Buka 1.300 Formasi untuk Calon ASN

Kamis, 18 April 2024 | 12:44 WIB

Angka Pelanggaran Lalu Lintas di Tarakan Meningkat

Kamis, 18 April 2024 | 11:10 WIB
X