Komunitas Wahana Pendidikan Perbatasan (WPP) hadir di Nunukan. Lembaga tersebut, bertujuan menuntaskan anak usia produktif yang buta aksara. Anak-anak akan dibina hingga sampai bisa membaca.
RIKO ADITYA
SETIDAKNYA sudah ada 11 orang anak yang buta aksara telah dibina WPP. Tiga di antaranya berasal dari Nunukan Selatan. Mereka juga tidak sekolah, bahkan ikut bekerja bersama orang tuanya.
Ketua Komunitas WPP, Eka Berlin mengatakan, mengejar tujuannya, dirinya menggandeng banyak relawan untuk bergabung, ada guru dari Komunitas Berantas Buta Matematika (BBM), ada guru dari Indonesia Mengajar (IM), ada juga relawan dari Guru Garis Depan (GGD) dan para sarjana juga komunitas anak muda yang peduli pendidikan.
“Permasalahan buta aksara butuh kepedulian, ketelatenan dan juga semangat sosial,” ujar Eka kepada Radar Tarakan, Minggu (11/10).
Berlin menambahkan, dirinya awalnya mulai dari pembuatan sejumlah gang yang bernuansa pendidikan. Gang-gang tersebut mereka namai seperti nama gang menulis, gang membaca, gang melukis dan sebagainya. Setelah itu, mereka membuat sekolah malam. Itu dilakukan karena harus menunggu pelajar pulang kerja.
“Jadi misi WPP ini nantinya, bukan hanya di Kampung Timur saja, setelah anak-anak yang kami bina sudah bisa membaca, menulis dan berhitung, kami akan pindah ke lokasi lain lagi. Sambil memetakan ada berapa banyak yang masih buta aksara, sebagaimana yang dikatakan Nelson Mandela, pendidikan adalah senjata paling ampuh untuk mengubah dunia,” beber Eka.
Salah seorang relawan pengajar di komunitas WPP, Joshepine Salu mengatakan, pembelajaran yang diberikan kepada anak-anak buta huruf tersebut, dilakukan dengan permainan dan lagu. Cara itu, membuat mereka akan lebih cepat paham dan hafal, meski materi yang diajarkan adalah bahasa Inggris sekalipun.
“Menurut saya cara itu lebih mudah, buktinya anak-anak ini sekarang lebih hafal bahasa Inggris untuk anatomi tubuh, seperti kepala, pundak, lutut, kaki. Mereka bisa hafal, tapi berhubungan dengan tubuh itu tadi,” ujar wanita lulusan program studi S-2 bahasa Inggris ini.
Sejauh ini, sudah ada yang bisa belajar mengeja tulisan. Padahal program WPP baru berjalan selama 4 pekan. Antusiasme masyarakat juga mulai terlihat ketika para relawan memanfaatkan koneksi dan jejaring mereka untuk mendatangkan buku-buku bacaan.
Bahkan, salah seorang tokoh pemuda di Kampung Timur, Bastian merelakan warungnya dipinjam untuk menjadi perpustakaan mini. Selain masalah pendidikan, WPP perlahan membenahi urusan administrasi kependudukan dengan berkoordinasi intens dengan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) Nunukan. (***/lim)