Proses inilah yang dilakukan Arif saat peliputan aksi demonstrasi di gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Tarakan, tiga hari lalu.
Menaiki pagar, agar bisa berada di posisi tertinggi dari para demonstrasi yang sudah ‘kebakaran jenggot’. Dari ketinggian pagar yang hampir tiga meter ini, juga pas untuk ia mengambil visual.
Padahal kalau mengikuti fobianya, ia termasuk orang yang takut ketinggian. Tapi rasa takutnya tidak lagi dihiraukannya, saat melihat semangat para demonstrasi yang sudah membara. Ia tidak ingin ketinggalan momen ini.
“Mereka (massa) datang ke DPRD langsung ada aksi dorong pagar. Insting jurnalis cari angle terbaik. Kalau di belakang, kami tidak lihat aksi itu. Maka kami naik ke atas pagar, dari atas lebih jelas. Sebenarnya saya orang yang takut ketinggian, tapi karena kondisinya seperti itu, cari momen,” tuturnya mengawali cerita.
Seingatnya di atas pagar itu ada sekitar empat orang. Tapi, selain dia, ada dua rekannya yang juga berdiri di atas pagar itu. Tepat di belakangnya, Ifransyah fotografer Radar Tarakan, ada juga Septian wartawan Harian Rakyat Kaltara.
Semakin agresifnya massa ini, akhirnya water cannon dikerahkan kepolisian. Masih sempat mengambil visual, menggunakan handphone-nya. Handycam juga masih dipegangnya. Tapi melihat gerak-gerik meriam air ini, dia sudah bisa ‘membaca’ akan ditembakkan ke arah di mana ia dan rekan sejawatnya berdiri.