Pandemi Covid-19, Berpotensi Terjadi Politik Uang

- Senin, 5 Oktober 2020 | 13:49 WIB
PILKADA 2020: Bawaslu KTT menegaskan Pilkada 2020 di tengah pandemi Covid-19 sangat rentan terjadi politik uang untuk mendapatkan suara lantaran perekonomian masyarakat yang sedang melemah./RIKO/RADAR TARAKAN
PILKADA 2020: Bawaslu KTT menegaskan Pilkada 2020 di tengah pandemi Covid-19 sangat rentan terjadi politik uang untuk mendapatkan suara lantaran perekonomian masyarakat yang sedang melemah./RIKO/RADAR TARAKAN

TANA TIDUNG - Pandemi Coronavirus Disease (Covid-19) berdampak kepada ekonomi masyarakat serta berdampak kepada pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang akan digelar serentak 9 Desember 2020. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kabupaten Tana Tidung (KTT) memprediksi akan terjadi money politic (politik uang) di Pilkada 2020 bahkan lebih banyak dari pemilu sebelumnya.

Seperti diketahui kondisi selama Covid-19 merebak, sangat berdampak kepada ekonomi masyarakat, khususnya di KKTT. "Karena kondisi pandemi ini ekonomi kurang baik, maka politik uang juga bisa saja terjadi," kata Ketua Bawaslu KTT Chaeril.

Dijelaskannya, berbagai cara politik uang berkedok bantuan sosial politik diperkirakan bisa saja terjadi. Entah dalam bentuk pemberian bantuan alat kesehatan dan alat pelindung diri (APD) atau yang lainnya. "Ini kan Covid-19 tentu saja masyarakat yang ekonominya lemah, ketika diberikan bantuan baik uang maupun sembako kan pasti diterima mereka. Tujuannya bagus cuma waktunya yang tidak tepat karena bertepatan dengan pelaksanaan pilkada itu yang jadi masalah," jelasnya.

Diakuinya, pemberian bantuan sosial dan APD tersebut dinilai bagus dan membantu. Akan tetapi jika hal tersebut dipolitisi tentu saja sudah melanggar aturan. "Waktunya tidak tepat, jika bantuan uang dan keadaan Covid-19 ini dipolitisi dengan iming-iming diminta memberikan suaranya untuk memilih. Itu sudah salah dan harus ditindak," tegas Chaeril.

Menurutnya, hal tersebut juga dapat menimbulkan korupsi nantinya ketika salah satu paslon tersebut naik menjadi pimpinan daerah. Tentu hal ini akan berdampak kepada pemerintahan yang bersih dan transparan. "Menurut hemat saya ketika pencalonan itu menggunakan uang untuk membeli suara, tentu ketika paslon itu duduk menjadi kepala daerah ini berpotensi akan berdampak korupsi. Makanya politik uang ini dampaknya ke depan sangat miris," jelasnya.

Mengantisipasi politik uang terjadi pada pilkada 2020, sudah diatur dalam peraturan dan yang ditegaskan Bawaslu untuk mengingatkan para paslon untuk tidak memanfaatkan situasi pandemi Covid-19.

"Kami terus pantau pergerakan paslon jangan sampai kedapatan menggunakan politik uang jelang Pilkada. Kami imbau masyarakat jangan mau dibeli suaranya. Jangan sampai potensi korupsi terjadi karena masyarakat mau dibeli suaranya," imbau Ketua Bawaslu KTT.

Chaeril juga mengajak seluruh masyarakat memberikan hak suaranya dengan bijak, dan ciptakan politik damai. Sebab, pilkada harus dijadikan momentum menjaga netralitas baik sebagai ASN, TNI dan Polri dalam berikan hak suara dengan hati nurani.

"Mari kita ciptakan pilkada ini dengan damai. Berikan suara dengan hati nurani jangan mau dibeli karena masa depan pemerintahan itu menentukan arah pemimpin itu ke depan. Jangan sampai juga paslon melanggar aturan selama pelaksanaan pilkada," pungkasnya.

Di tempat yang sama, Koordinator Divisi Pencegahan Hubungan antar Lembaga (PHL), Ramli,S.H, mengatakan, dalam Undang-undang Pilkada ada dua pasal yang mengatur tentang netralitas ASN, yaitu pada Pasal 70 dan Pasal 71. Pasal 70 Ayat 1 berbunyi, dalam kampanye pasangan calon dilarang melibatkan ASN, anggota kepolisian dan anggota TNI. Pelanggaran atas ketentuan tersebut dikenakan sanksi pidana paling lama 6 bulan penjara dan denda paling banyak 6 juta seperti disebutkan dalam pasal 189.

"Sanksi sudah jelas, bagi ASN yang ikut politik praktis atau ASN itu tidak netral. Karena dalam Undang-undang Pilkada ada atauran terkait itu. Makanya kami selalu mengingatkan kepada ASN jangan ikut politik praktis," ungkapnya.

Ramli menegaskan, pada intinya secara UU maka ASN tidak diperbolehkan mendukung atau secara tidak langsung mendukung kepada salah satu paslon. Namun, berbeda ketika ASN tersebut hadir sebagai undangan di acara tertentu, tidak serta merta mengklaim ASN tersebut mendukung salah satu paslon.

"Intinya kami melihat dulu, koridor kehadiran ASN di acara salah satu paslon itu dalam rangka apa. Jika ASN itu hadir undangan pemerintahan atau tidak, harus ada bukti kuat apakah ASN ini hadir ikut kampanye atau hadir sebagai undangan kedinasan. Jadi tidak boleh langsung klem bahwa ASN ini ikut kampanye," jelas Ramli.

Jika kehadiran ASN tersebut benar, Bawaslu akan tetap menindaklanjuti hal tersebut tentu dengan proses klarifikasi terlebih dahulu. "Kami akan klarifikasi dulu jika ada temuan atau laporan terhadap ASN yang seperti itu. Kami juga selalu menyampaikan bentuk pencegahan karena fungsi kami sebagai pencegahan seluruh potensi-potensi pelanggaran pilkada. Kami minta selalu menjaga hal yang sekiranya melanggar agar pilkada nanti aman dan damai," pungkasnya. (rko/fly)

Halaman:

Editor: anggri-Radar Tarakan

Rekomendasi

Terkini

Ini Dia Delapan Aksi Konvergensi Tekan Stunting

Kamis, 25 April 2024 | 12:30 WIB

Dewan Negara Malaysia Kagum Perkembangan Krayan

Kamis, 25 April 2024 | 09:30 WIB

Gubernur Kaltara Sebut Arus Mudik-Balik Terkendali

Selasa, 23 April 2024 | 11:15 WIB

PLBN Sei Menggaris Segera Operasional

Sabtu, 20 April 2024 | 15:30 WIB

Pemkab Bulungan Beri Keringanan BPHTB

Sabtu, 20 April 2024 | 11:50 WIB

Di Bulungan, 400 Ha Lahan Ludes Terbakar

Sabtu, 20 April 2024 | 10:28 WIB

KMP Manta Rute KTT-Tarakan Kembali Beroperasi

Sabtu, 20 April 2024 | 10:01 WIB
X