Kehidupan manusia bak roda yang selalu berputar. Kadang, derajat kehidupan berada titik paling bawah, namun perlahan-lahan naik hingga ke atas. Begitulah kehidupan Danlanud Anang Busra Tarakan, Kolonel Pnb Somad, S.IP, yang lahir dari keluarga petani.
YEDIDAH PAKONDO
SIKAP TNI yang cinta pada tanah air dan negara, tertanam dalam diri Somad sejak masih berada di bangku sekolah dasar (SD). Saat itu, bagi rakyat biasa seperti Somad, menjadi TNI hanyalah impian belaka. Apalagi Somad dibesarkan oleh kedua orang tuanya yang hanya bekerja sebagai petani di Indramayu. Bahkan kedua orang tuanya pun buta huruf sehingga hanya mampu mencari nafkah untuk kebutuhan sekolah anak-anaknya.
“Orang tua saya memang buta huruf dan hanya seorang petani. Tapi didikan dan perjuangan mereka takkan pernah saya lupakan. Saya bisa seperti ini itu semua karena jerih lelah orang tua saya,” kenang Somad.
Ketika berada di kampung kelahirannya di Indramayu, Somad banyak bergaul dengan anggota TNI di komando rayon militer (koramil) dan kepolisian sektor (polsek). Somad diberi semangat untuk menjadi TNI. Somad merupakan anak ke-5 dari 10 bersaudara.
Saat usianya 4 tahun Somad dibawa sang paman ke Jakarta untuk berjualan ketoprak di pinggir bantaran Sungai Ciliwung.
“Paman saya menganggap saya sebagai anak sendiri, karena paman saya tidak punya keturunan. Saya sering membantu paman menjual ketoprak di Jakarta menggunakan peluit,” ujarnya.
Kecintaan Somad pada Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), membuat dirinya semakin bekerja keras untuk membentuk kekuatan fisik, apalagi ketika berada di rantau. Jika ada kegiatan masa panen atau mengangkat kayu, Somad hadir untuk membantu bahkan sampai menjadi kuli bangunan.
Namun, keadaan Somad yang demikian tidak membuat Somad patah semangat. Hingga akhirnya keluarga Somad menjadi sedikit lebih baik, yakni ketika ayah Somad berhasil menjadi honorer di Pertamina dengan pekerjaan membawa alat berat. Saat itu, banyak anak kecil di Pertamina yang hobi bermain bola, tenis dan olahraga lainnya. Somad merupakan salah satu anak yang direkrut untuk menjadi pemain bola, sehingga fisik Somad semakin terbentuk.
Kisah Somad berlanjut saat mulai berkarier di TNI AU. Dimulai sejak dirinya berhasil lulus di tingkat sekolah menengah atas (SMA) pada tahun 1992, kemudian memilih untuk masuk Akademi Angkatan Udara di Jogjakarta selama 3 tahun dan pada tahun 1995 dinyatakan lulus. Somad kemudian melanjutkan pendidikannya di Sekolah Penerbang Angkatan LIV (54) Jogjakarta dan dinyatakan lulus pada tahun 1997. Kemudian lanjut pendidikan transisi karena dirinya mendapat jurusan helikopter di Lanud Atang Senjaya, Bogor pada tahun 1997 hingga 2011.
Pada tahun 2001, Somad bertemu dambaan hatinya dan menikah dengan wanita yang berasal dari Ciamis dan dikaruniai dua orang anak yang diberi nama Muhammad Ariel Yudhatama dan Titanova Alya Laviolin.
“Selama di Bogor sebagai seorang penerbang helikopter SA 330 Puma, saya mengenali helikopter saya karena memiliki karakteristik yang sangat bagus khususnya di negeri kita. Sampai sekarang heli itu masih ada, meskipun kekuatannya secara kuantitas sekarang sudah mulai berkurang dan tidak seperti dulu. Tapi Puma ini sangat memenuhi syarat untuk melaksanakan SAR, rescue dan VIP serta VVIP,” jelasnya.
Selama menjadi penerbang helikopter secara otomatis memiliki aktivitas yang padat sehingga dirinya jarang berada di rumah. Mulai dari jabatan sebagai letnan dua hingga mayor senior, Somad jarang merasakan situasi berada di rumah bersama keluarga.
“Paling lama seminggu, dua minggu di rumah. Tapi setelah itu berangkat lagi. Kalau dulu masih ada spot di Papua dan Aceh, jadi satu bulan di luar baru ada pergantian tugas. Jadi pesawatnya ditinggal, krunya saja yang diganti karena kami berputar terus dari Sabang sampai Merauke termasuk kegiatan evakuasi banjir longsor, maka helikopter sangat tinggi mobilitasnya, sehingga konsekuensinya jarang di rumah,” kenang Somad.