Keterbatasan fisik tidak membuat Arnelina terdiam merenung, berpasrah diri, putus asa, dan hanya mengharapkan bantuan orang lain. Justru di atas kakinya yang tidak sempurna, wanita berusia 39 tahun ini mampu menunjukkan tekadnya untuk menjadi lebih baik lagi.
LISAWAN YOSEPH LOBO
DI dalam ruangan yang luasnya sekitar 4x3 meter persegi, tepatnya di rumah batik Kelompok Usaha Bersama Disabilitas Batik (Kubedistik), terlihat Arnelina tengah asyik memainkan cantingnya di motif batik khas Kalimantan Utara.
Sesekali dicelupkannya canting itu ke dalam lelehan lilin malam. Teliti, serius, mengarahkan mata cantingnya seraya mengikuti pola batiknya itu. Rupanya penyandang disabilitas tunadaksa ini mulai belajar membatik di Kubedistik, sejak September 2019 lalu, yang digawangi Sonny Lolong.
Namun, sebelum menimba ilmu di rumah batik mitra binaan PT Pertamina EP Asset 5 Tarakan Field ini, wanita yang akrab disapa Mbak Lina kerap mengikuti pelatihan yang diadakan Dinas Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat Tarakan.
Urusan batik membatik, jahit menjahit sebenarnya sudah tidak asing bagi Mbak Lina. Tangannya sudah termasuk lincah memainkan mata jarum maupun canting.
“Dulu juga waktu di rumah saja, terkadang merajut, iseng-iseng buat bros, tapi untuk dipakai sendiri. Memang hobi, sudah bisa sedikit-sedikit karena awalnya pernah ikut pelatihan dari Dinas Sosial Tarakan. Tapi dulu hanya menggambar, di sini baru pegang canting,” kata wanita kelahiran Tarakan, 21 Juni 1981 silam.
Tak sekadar mengikuti pola batik. Tapi tintanya sangat panas, menjadi tantangan tersendiri bagi seorang Arnelina ini. Tidak hati-hati, bisa saja tintanya mengenai tangannya. Tapi itu sudah hal yang biasa baginya. “Yang sulit juga saat mencanting tintanya menetas, jadi keluar dan menempel di kain. Makanya kalau tintanya menetes, kita cepat-cepat arahkan ke tempat lain,” lanjutnya.
Dalam sehari, dia bisa duduk menghabiskan tujuh jam hanya memainkan mata cantingnya. Di atas kain yang sudah digambar pola ini, ukurannya sekitar 1x2,5 meter persegi, bisa diselesaikannya dalam waktu dua hari hingga tiga hari.
“Selain mencanting, saya juga belajar buat masker batik,” katanya.
Lantaran keterbatasannya, ruang geraknya pun cukup terbatas. Sebenarnya dalam hati kecilnya tidak ingin merepotkan orang lain. Namun apa daya, urusan merebus kain setelah dicanting tak bisa dilakukannya sendiri. “Karena posisinya tinggi, jadi perlu bantuan orang lain untuk merebus kain setelah dicanting,” lanjutnya.
Meski begitu, dia tidak pernah minder dengan keadaannya. Juga tidak memikirkan perkataan orang lain, yang bersifat mematahkan semangatnya. Baginya, dia tidak mempunyai waktu untuk memusingkan hal tersebut. “Saya tidak pernah pikirkan sih, tapi bagaimana supaya saya bisa bangkit dan bermanfaat untuk orang lain. Yang saya tidak enak itu kalau merepotkan orang lain. Kecuali yang benar-benar saya tidak bisa lakukan sendiri, karena keterbatasan fisik saya,” harapnya.
Kerap mengikuti pelatihan, tidak bosan menimba ilmu, dia bermimpi memiliki usaha sendiri. Siapa yang tahu, jika bernasib baik dia ingin meneruskan bakatnya ini untuk membuka usaha. (***/lim)