Anggota Berpolitik, MUI: Silakan Mundur

- Rabu, 16 September 2020 | 11:06 WIB
ist
ist

TARAKAN – Majelis Ulama Indonesia (MUI) menempuh sikap tegas guna mencegah perpecahan di masyarakat di tahun politik. Seluruh organisasi masyarakat Islam dilarang menunjukkan keberpihakan politik. Hal itu ditegaskan Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kalimantan Utara (Kaltara), Syamsi Sarman, kemarin (15/9).

Ia menuturkan, sesuai dengan pedoman anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART) MUI yang tetap independen, profesionalisme dan amanah dalam mencerahkan umat dalam berkehidupan sesuai tuntunan agama. Sehingga menurutnya, seharusnya ormas tetap terfokus dalam aktivitas keagamaan. Meski demikian, ia menegaskan sebagai lembaga yang menjunjung profesionalisme, tentunya paslon dapat menggunakan pengkhotbah dalam setiap kegiatan politik yang berhubungan dengan keagamaan. Mengingat tidak ada larangan khusus berdakwah dalam aktivitas politik.

“Jauh-jauh hari sebelum pelaksanaan pilkada, kami sudah pertemuan di Tanjung Selor, ada 3 poin yang kami rumuskan sebagai pedoman MUI. Yang pertama MUI tetap pada sikap independen tidak memihak kepada siapa pun sesuai AD/ART yang terkandung di dalam MUI. Kedua, MUI juga tetap profesional, dalam artian kami tetap melayani umat. Paslon itu merupakan bagian dari umat. Jadi ketika misalnya ada permintaan, tausiah atau pembacaan doa, MUI hadir sebagai kapasitasnya majelis ulama. Tapi kehadirannya sebagai profesionalisme ulama, yang diminta hadir untuk memberikan tausiah atau pandangan keagamaan atau doa. Sehingga, aturan mainnya harus bersurat secara resmi ke MUI. Jadi misalnya ada paslon yang minta pembacaan doa misalnya, tentu harus mengirim surat resmi ke majelis ulama. Nanti MUI yang akan mengirimkan utusannya apakah ketua MUI atau yang mewakili,” ujarnya, kemarin (15/9).

Ia menegaskan, sejauh ini MUI Kaltara cukup tegas dalam menerapkan larangan kepada jajarannya. Menurutnya, jika nantinya terdapat anggota yang tetap ingin berpolitik, maka dipersilakan mengundurkan diri dari kepengurusan MUI.

“Yang ketiga, ini sifatnya komitmen. Jadi bagi pengurus MUI, yang memang ingin berkiprah di  dunia politik, apakah jadi timses atau atau pun langsung mencalonkan, dia harus mundur dari kepengurusan MUI,”tukasnya.

Terkait masalah khatib masyarakat yang dianggap berpotensi menjadi sarana kampanye, ia menyadari hal tersebut. Walau demikian, ia menegaskan jika MUI hanya memiliki wewenang dalam mengimbau organisasi tidak bersifat secara individual.

“Majelis ulama lebih kepada menaungi dan menaungi organisasi Islam-nya. Bukan individunya. Jadi ulama atau khatib sendiri adalah refrensentatif dari umat Islam,” tuturnya.

“Kalau khatib secara individu, sangat mungkin saja. Pengalaman yang lalu-lalu juga terjadi, oleh karena itu kami mengimbau, mengharapkan, baik khatib, dai, mubalig, untuk tetap berpegang teguh pada prinsip ulama yang mengayomi umat dalam berdakwah,” sambungnya.

Lanjutnya, khusus Kaltara sejauh ini tidak ada ormas yang menunjukkan hubungan secara langsung kepada partai politik. Meski mengakui secara nasional terdapat ormas yang berafiliasi dengan parpol, namun untuk Kaltara hal tersebut belum pernah terlihat.

“Yang saya tahu, semua organisasi Islam tidak ada yang berafiliasi secara langsung kepada parpol. Misalnya Muhammadiyah, Muhammadiyah itu tidak otomatis mendukung PAN (Partai Amanat Nasional). Atau pun NU (Nahdlatul Ulama) ke PKB (Partai Kebangkitan Bangsa). Jadi di PAN itu bisa dari Muhammadiyah, bisa juga di luar Muhammadiyah. Jadi kalau secara organisasi, insyaallah tidak ada yang secara langsung mendukung parpol. Kecuali pribadi-pribadi, oknum-oknumnya itu soal pilihan masing-masing. Tapi secara organisasi itu tidak ada dan memang tidak boleh,” terangnya.

Sementara itu, Kepala Kantor Kementerian Agama (Kemenag) Tarakan, H.M. Shaberah Ali, S.Ag, M.M, menegaskan jika pihaknya telah mengimbau setiap khatib agar tidak berbicara politik di mimbar masjid. Meski demikian, jika materi ceramah membahas pemimpin ideal dalam pandangan Islam sah-sah saja. Namun tetap sesuai tuntunan agama.

“Secara umum, kami sudah memberikan pembinaan kepada para khatib, bahwa dalam menyampaikan khotbah itu pertama tidak berbicara soal politik praktis di mimbar, apalagi mempromosikan pilihan politik. Tapi kalau dia berkhotbah mengenai kriteria pemimpin dalam Islam itu boleh-boleh saja. Kan itu termasuk dalam bagian dakwah,” tukasnya.

Meski demikian, ia mengakui sulit dalam melakukan pemantauan khotbah seluruh khatib. Walau begitu, pihaknya meyakini setiap khatib memiliki kesadaran tinggi dalam mengemban amanah.

“Memang masjid di Tarakan cukup banyak, sekitar 180-an masjid yang terdata. Berarti katakan 180 dari 200 khatib yang berkhotbah setiap Jumat, tentu kami tidak dapat memantau semuanya. Tapi tentu setiap khatib memiliki kesadaran masing-masing tetap amanah dalam berdakwah menyejukkan umat,” tukasnya.

Halaman:

Editor: anggri-Radar Tarakan

Rekomendasi

Terkini

Lagi, 7,68 Hektare Lahan di Binusan Diduga Dibakar

Minggu, 17 Maret 2024 | 14:50 WIB

Jelang Pilkada, Polres KTT Sebut 21 TPS Rawan

Rabu, 13 Maret 2024 | 13:55 WIB
X