Pelonggaran Rapid Test Dinilai Berisiko

- Senin, 10 Agustus 2020 | 10:01 WIB
DITUTUP: Pelayanan rapid test di karantina dialihkan ke Dinkes Bulungan. Tampak petugas saat melakukan sterilisasi lokasi karantina sebelum ditutup Juli lalu./RADAR KALTARA
DITUTUP: Pelayanan rapid test di karantina dialihkan ke Dinkes Bulungan. Tampak petugas saat melakukan sterilisasi lokasi karantina sebelum ditutup Juli lalu./RADAR KALTARA

TANJUNG SELOR - Kewajiban pelaku perjalanan menyertakan surat keterangan sehat disertai hasil rapid test nonreaktif sudah tidak berlaku. Khususnya pada moda transportasi laut tujuan Tanjung Selor-Tarakan. Namun, pintu masuk ke Bulungan tetap diperketat.

Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid- 19 Bulungan, H. Sudjati menilai bahwa kebijakan pelonggaran rapid test terlalu berisiko. Sehingga pengawasan harus lebih diperketat. "Terlalu berisiko. Jadi, harus ada pengawasan yang lebih ketat lagi," kata Sudjati kepada Radar Kaltara belum lama ini.

Rapid test, sambung Sudjati, salah satu metode skrining untuk mendeteksi antibodi. Jika persyaratan rapid test tidak berlaku maka akan sulit untuk mendeteksi pelaku perjalanan yang diduga terpapar virus sindrom pernapasan akut berat 2 atau SARS-CoV-2. "Jalur tikus ini juga harus tetap jadi atensi bersama," bebernya.

Sementara itu, Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Bulungan, H. Imam Sujono mengatakan, sebenarnya pemeriksaan antibodi menggunakan alat rapid test masih tetap berjalan. Di Bulungan, rapid test dilakukan di dua tempat. Yakni, Rumah Sakit Daerah (RSD) dr. H. Soemarno Sosroatmodjo, Tanjung Selor dan Dinkes Bulungan. "(Lokasi, Red) karantina sudah tidak ada. Jadi, kita alihkan pelayanan rapid test di kantor Dinkes," kata Imam.

Sekarang ini seluruh pasien Covid-19 menjalani karantina dan isolasi mandiri di rumah. Menyoal apakah ada wacana untuk mewajibkan pelaku perjalanan uji swab seiring adanya rencana pengoperasian alat tes cepat molekuler (TCM), Imam mengatakan, sampai saat ini belum ada wacana ke arah sana. Apalagi biaya uji swab ini mahal. “Kalau pakai swab biayanya mahal. Swab itu biayanya Rp 1 juta sampai Rp 2 juta,” bebernya.

Sehingga uji swab dilakukan jika hasil rapid test reaktif dan ada tanda pneumonia serta beberapa tanda lainnya. “Jadi, TCM ini hanya untuk pasien yang diduga terpapar Covid-19,” ujarnya.

Dijelaskan, satu pasien ada tiga sampel yang dilakukan pengujian. Durasi untuk melakukan pengujian membutuhkan waktu panjang. “Dalam sehari kalau kita menggunakan TCM paling banyak 10 sampel, terkadang pemeriksaan sampai malam hari. Jadi, tidak seperti rapid test yang haya membutuhkan waktu 5 sampai 20 menit,” ungkapnya.

Dijelaskannya, jika satu pasien ada tiga sampel yang diuji, maka membutuhkan waktu panjang. “Sampel yang diambil bervariasi, ada yang hanya satu sampel dan ada yang tiga pasien, tergantung hasil pemeriksaan klinis,” jelasnya.

TCM, kata Imam, diagnosis terakhir. Untuk pengoperasian TCM sampai saat ini dirinya belum dapat berkomentar lebih jauh. “Saya malu untuk berkomentar. Karena sampai saat ini belum ada kejelasan,” tuturnya. (*/jai/eza)

Editor: anggri-Radar Tarakan

Rekomendasi

Terkini

Pemkab Nunukan Buka 1.300 Formasi untuk Calon ASN

Kamis, 18 April 2024 | 12:44 WIB

Angka Pelanggaran Lalu Lintas di Tarakan Meningkat

Kamis, 18 April 2024 | 11:10 WIB
X