Bertekad Menjadi Orang Tua Asuh Bagi Warga Binaan

- Selasa, 21 Juli 2020 | 14:43 WIB
Yosep Yambise./ELIAZAR/RADAR TARAKAN
Yosep Yambise./ELIAZAR/RADAR TARAKAN

 Untuk pertama kalinya putra asli Papua memimpin Lembaga Permasyarakatan (Lapas) Kelas II-A Tarakan. Bukan hal mudah untuk memimpin Lapas Tarakan yang tak bisa dipungkiri memiliki banyak sorotan negatif. Terutama terkait perkara narkotika. Pekerjaan besar menanti Yosep, untuk mengubah Lapas Tarakan. Berbekal pengalaman menjabat beberapa kali sebagai kepala lapas, Yosep yakin bisa berbuat banyak di Tarakan.

ELIAZAR 

LAHIR di Jayapura pada tanggal 5 Juni 1950, Yosep Yambise lahir dari keluarga sederhana. Meski lahir di Jayapura, ia lebih banyak menghabiskan waktu di Kabupaten Nabire lantaran mengikuti orang tua tugas. Yosep merupakan anak kedelapan dari sebelas bersaudara. Yohana Yambise, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dalam Kabinet Kerja 2014-2019 merupakan kakak keduanya.

Sulitnya pendidikan di Papua, tak membuat Yosep patah semangat untuk menimbah ilmu. Berbekal ijazah sekolah teknik menengah, Yosep bergabung di Lapas Nabire pada 1992 hingga 1996. Saat itu Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) masih disebut dengan Departemen Kehakiman. Usai lulus STM, Yosep sempat mengikut tes pengawai negeri di pemerintah daerah dan Departemen Kehakiman. Pada kedua tes itu ia pun lulus. Namun dirinya yang sudah bertekad ingin membina warga binaan, ia pun memilih bergabung dengan Departemen Kehakiman.

“Tahun 1996, karena prestasi saya diizinkan belajar dari Kota Manokwari karena ada sekolah ilmu hukum dengan gelar sarjana,” kata ayah lima anak ini ketika ditemui Radar Tarakan, Kamis (16/7) lalu.

Usai meraih gelar sarjana, ia kembali ditugaskan di Lapas Nabire. Kemudian pada tahun 2006, ia merupakan lulusan putra Papua terkait program pascasarjana yang dilaksanakan atas kerja sama Kemenkum-HAM dan Universitas Hasanuddin. Belum selesai pendidik di Unhas, ia dilantik menjadi Kepala Seksi Pembianaan di Lapas Jayapura.

Tidak hanya berkarier di Tanah Papua, namun pada tahun 2010 ia mulai keluar dari Papua. Sulawesi Tengah menjadi tempat Yosep bertugas saat itu. Ia menjadi sebagai kepala Subdit Bimbingan Kemasysrakatan, Latihan Kerja dan Produksi di Kanwil Kemenkumham Sulteng. Yosep pertama kali menjabat sebagai kepala lapas pada tahun 2015 di Nabire. Prestasi pun ia mulai dapatkan. Saat itu Lapas Nabire sempat menjadi lapas terbaik bagian timur Indonesia.

“Saat di sana (Nabire), yang terkenal itu adalah pahlawan sampah Nabire. Karena saya membawa narapidana yang memenuhi syarat, untuk membersihkan Kota Nabire,” ucap Yosep.

Dua tahun menjadi Kalapas Nabire, ia kemudian ditugaskan menjadi Lapas Kelas II-B Manokwari. Dua kali menjadi kalapas di Papua, ternyata Yosep diberikan amanah untuk keluar dari Papua. Tepat pada tahun 2018, ia menjadi kepala Lapas Kelas II-A Sragen, Jawa Tengah. “Kata orang, saya putra pertama Papua yang memimpin lapas di luar Papua,” ungkapnya.

Mengenang di Lapas Sragen, Yosep merasakan banyak prestasi dan kenangan. Bahkan saat itu sempat menciptakan lagu yang bertemakan kedamaian bangsa Indonesia. Untuk di Lapas Tarakan, ia belum tahu mengenal pasti kondisinya. Namun yang pasti ia menginginkan Lapas Tarakan sama dengan lapas lainnya. Yaitu melakukan pembinaan bagi para warga binaan.

Selama berkarier di dalam lapas, banyak suka duka. Namun ia meyakini bahwa jiwa hidupnya sudah sepenuhnya berada di dalam lapas. Bahkan ia merasa sangat sedih dan miris, apabila warga binaan yang sudah bebas dari lapas namun tidak dianggap selayaknya manusia biasa.

“Artinya bahwa mantan warga binaan dianggap sebagai penjahat dan mendapatkan stigma yang negatif,” tuturnya.

Ia bahkan sangat senang apabila narapidana yang bebas, akan mendapatkan binaan lagi di luar lapas. Yosep menceritakan, ia sangat senang apabila berkumpul dengan para warga binaan di dalam lapas. Apalagi para warga binaan menganggapnya sebagai orang tua. Ia bahkan menjadi tempat curhat, tertawa dan menangis oleh para warga binaan. “Biar pulang cuma makan nasi dan sambel, saya rasanya senang,” ungkapnya.

Baginya, semua warga binaan dan masyarakat lainnya sama. Hanya para warga binaan di lapas memerlukan perhatian lebih untuk menguubah hidup. Makanya ia sering melakukan pendekatan melalui agama, sosial dan budaya. “Mau katakan tidak semua orang di penjara itu jahat, dan tidak semua orang di luar penjara itu baik,” tegasnya.

Halaman:

Editor: anggri-Radar Tarakan

Rekomendasi

Terkini

Pemkab Nunukan Buka 1.300 Formasi untuk Calon ASN

Kamis, 18 April 2024 | 12:44 WIB

Angka Pelanggaran Lalu Lintas di Tarakan Meningkat

Kamis, 18 April 2024 | 11:10 WIB
X