Biaya Mahal, Dilema Pengusaha

- Jumat, 5 Juni 2020 | 13:21 WIB
IST
IST

 SEBAGIAN pengusaha di Kalimantan Utara (Kaltara), khususnya Tarakan menyambut baik rencana penerapan protokol new normal. Namun, yang masih menjadi dilema, sederet syarat atau protokol kesehatan yang harus dipenuhi di fasilitas perhubungan. Bukan cuma persoalan biaya, juga waktu. Dianggap masih menghambat laju produksi atau perekonomian di beberapa sektor.

Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Kaltara Herry Johanes mencontohkan pengalamannya dalam beberapa hari terakhir. Misalnya perjalanan dari Jogjakarta ke Balikpapan, ia harus menunggu lebih lama.

“Lebih mahal dari harga tiket (PCR). Dari Jogja ke Balikpapan, Rp 1,5 juta, PCR Rp 1,6-2 juta. Tapi ini enggak masalah. Kendala lain adalah penerbangan. Ada maskapai yang belum bisa rutin, cuma bisa sekali seminggu,” ujarnya, kemarin (4/6)

Menurutnya, pemerintah harus menempuh jalan tengah. Salah satunya dengan mensubsidi atau stimulus dalam hal kepentingan bisnis, atau profesional yang bergerak di bidang ekonomi. “Protokol oke, tetapi warga mau PCR ini bagaimana? Misalnya rumah sakitnya, apakah sepanjang pekan. Dokumen hasil pemeriksaan itu juga berlaku terbatas. Protokol ini harus dijalankan, tapi harus ada detail-detail lain yang harus kita perhatikan. Misalnya Sabtu-Minggu harus melayani PCR. Bayangkan kalau kota kecil, yang enggak ada PCR, bisa seminggu loh. Maka itu, harus ada penyelesaian,” jelasnya.

Ia turut mengungkap jika daya saing masih belum sesuai harapan di tengah kondisi pandemi seperti ini. “Saya (Apindo) ada kerja sama dengan ACI (Asia Competitiveness Institute) untuk survei atau riset. Tapi, di tengah kondisi seperti ini belum bisa berjalan. Di Kaltara, yang diriset daya saing pelaku ekonomi kita. Kalau kondisinya begini, pastinya masih jauh di bawah,” tambahnya.

Apindo berharap protokol kesehatan tetap dijalankan, namun tetap memperhatikan kemudahan akses. “Stimulus ekonomi yang saya maksud, misalnya tes, separuhnya. Misalnya kalau Rp 1,6 juta, yah cuma Rp 800 ribu. Waktu pengadaannya juga harus ada. Bayangkan saya, ke Balikpapan, pas mau balik lagi, jadi harus tes lagi. Ini benar-benar ekonomi biaya tinggi. Yang sebenarnya masih bisa dibantu pemerintah. Karena upaya menggerakkan ekonomi ini harus sama-sama nih,” harapnya.

 

Menurutnya lagi, tidak semua sektor ekonomi dapat menerapkan sistem work from home (WFH). Misalnya pada sektor konstruksi, masih mengharuskan kehadiran fisik.

“Saya ini kan kontraktor. Lagi pematangan lahan sebuah refinery unit B-30. Saya harus melakukan supervisi, untuk efisiensi, metode, spesifikasi harus dicek. Ada hal-hal yang tidak bisa ditinggalkan. Misalnya saya gunakan alat berat, kemudian alatnya enggak bekerja sesuai. Bukannya menggerakkan ekonomi, justru saya rugi di bisnis itu,” terangnya.

Senada, Ketua Apindo Tarakan Zaini Mukmin, mengatakan masih terdapat kendala yang ditemui pengusaha. Meski pemerintah telah memberi lampu hijau akan melakukan pelonggaran pembatasan dalam hal penanganan Covid-19.

“Kalau kami misalnya memberikan tugas kepada karyawan, harus dengan biaya tambahan lagi, dan itu lumayan besar. Kalau misalnya dalam sekali perjalanan kami 10 orang saja itu rapid test-nya saja sudah Rp 10 juta, belum lagi biaya karantinanya. Kan tidak semua usaha yang hanya mengirimkan 1 karyawan untuk urusan ke luar daerah. Banyak usaha yang harus mengirimkan karyawannya dalam jumlah banyak untuk keperluan misalnya pertambangan atau perusahaan alat berat,” ujar Zaini, kemarin (4/6).

Ia menjelaskan, tidak semua sektor bisnis dapat bergerak lebih cepat di tengah upaya pemerintah menggerakkan kembali perekonomian nasional. “Misalnya kemarin, ada alat yang rusak, kami harus memanggil teknisi. Teknisi ini juga mereka keberatan menanggung biaya yang dikeluarkan dalam keberangkatan. Mau tidak mau kami yang menanggung, belum lagi penginapannya. Saat ini (kemarin) saya menjemput karyawan saya di bandara, ini yang datang 15 orang, untuk rapid test-nya saja Rp 15 juta,” tuturnya.

Menurutnya dunia bisnis sangat memerlukan mobilitas setiap saat. “Kalau kami dalam sebulan 10 kali aktivitas perjalanan, mungkin kalau usaha sektor lain patokannya seminggu 1-2 kali. Karena bisnis ini kan cukup fleksibel membutuhkan mobilitas setiap saat,” tukasnya.

“Banyak bisnis lain di Apindo keluhannya lebih parah. Bahkan sudah ada yang tutup sementara seperti bisnis perhotelan,” sambungnya.

Halaman:

Editor: anggri-Radar Tarakan

Rekomendasi

Terkini

Ini Dia Delapan Aksi Konvergensi Tekan Stunting

Kamis, 25 April 2024 | 12:30 WIB

Dewan Negara Malaysia Kagum Perkembangan Krayan

Kamis, 25 April 2024 | 09:30 WIB

Gubernur Kaltara Sebut Arus Mudik-Balik Terkendali

Selasa, 23 April 2024 | 11:15 WIB

PLBN Sei Menggaris Segera Operasional

Sabtu, 20 April 2024 | 15:30 WIB

Pemkab Bulungan Beri Keringanan BPHTB

Sabtu, 20 April 2024 | 11:50 WIB
X