SABTU (14/3) pukul 19.30 WITA, jam ‘masuk’ sekolah. Anak-anak yang datang tanpa seragam rumah lembaga adat di Semeriot, tanpa sepatu seperti pada sekolah formal. Namun mereka semua tampak ceria. Ada yang diantar orang tuanya, adapula yang datang sendiri. Siswa paling muda berusia 4 tahun, dan paling tua 27 tahun. Ada 12 siswa malam itu.
Di lembaga adat, hanya ada sebuah bola lampu. Dialiri listrik dari sebuah genset. Itulah fasilitas mewah di kampung Semeriot. Banyak rumah warga lainnya belum teraliri listrik.
Sukhet, pendiri dan pengajar SAPS mulai menyiapkan perlengkapan bahan pelajaran. Mulai dari papan tulis berukuran 50 x 75 cm, kapur dan beberapa buku serta alat tulis yang diperuntukkan bagi anak-anak. Di antara mereka masih ada yang belum memiliki alat tulis. Sekolah ini berdiri di tengah permukiman, menyatu dengan bangunan lembaga adat.
Sukhet pun meminta mereka berjejer rapi menghadap papan tulis yang ditegakkan. Pelajaran malam itu bahasa adat Punan Semeriot atau bahasa Ibu. Satu dari 8 mata pelajaran SAPS.
Semua siswa memulai dari nol di sekolah itu. Tanpa pengetahuan dasar membaca, menulis dan berhitung (calistung). Pengetahuan itu justru baru didapatkan saat rutin mengikuti pelajaran di SAPS.
Sukhet, generasi yang masih menjaga bahasa Ibu juga memperbanyak referensi. Ia belajar dengan teman-temannya dalam komunitas Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Menurut Sukhet, bahasa mereka mirip dengan bahasa adat Punan Tubu.
Proses belajar mengajar malam itu berlangsung selama 90 menit. Pola ajar Sukhet sederhana, mudah dipahami. “Tulisan ini bisa dilihat, dibaca atau tidak?,” tanya Sukhet ke anak didiknya. Siswa itu pun menjawab bergiliran. Ada yang menjawab benar, adapula yang menghampiri.
Tak hanya anak-anak yang turut menyimak pembelajaran. Ada 2 perempuan dewasa dan 2 laki-laki dewasa yang mengikuti pelajaran malam itu. Beberapa tahun lalu mereka masih buta aksara. Sekolah itu membuka pengetahuan mereka tentang membaca.
Orang dewasa ini tak lain orang tua dari anak yang juga mengikuti pelajaran di SAPS. Mereka juga sangat antusias. Dari balik pintu mereka mencermati apa yang disampaikan Sukhet. Keberadaan SAPS begitu besar pengaruhnya.
Meski, tidak setiap hari belajar mengajar di sekolah ini berjalan, namun tetap menjadi ‘primadona’ bagi warga di Semeriot.
Rehan (7), salah seorang anak laki-laki didikan Sukhet malam itu. Sejak tahu Sukhet datang sorenya, tas di punggung terus menempel.
Sudah dua tahunan Rehan mengikuti SAPS. Tulisannya belum begitu rapi. “Itu apa Bu?” dia menunjuk salah satu huruf yang dituliskan Sukhet di papan tulis.
Beling (4), seorang anak laki-laki lainnya malam itu tak menyimak pembelajaran seperti murid lainnya. Bahasanya belum begitu lancar. Sukhet hanya memberinya buku cerita bergambar. Merta (20), sang ibu yang juga murid sekolah itu yang mendampingi Beling.
Merta sudah pandai membaca dan menulis. Dia merupakan angkatan pertama SAPS. “Iya, sudah lama ikut. Bisa baca sudah, tapi enggak banyak,” ujarnya.