TANJUNG SELOR – Kehadiran udang vaname disebut-sebut sebagai penyebab terjadi anjloknya harga udang windu. Salah satu alasannya, karena harga udang vaname yang jauh lebih murah dibandingkan harga udang windu.
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kalimantan Utara (Kaltara), Amir Bakry mengatakan, dalam hal ini pihaknya bukan mengatur masalah harga udang. Tapi, lebih ke arah bagaimana caranya meningkatkan produksi udang dan lain sebagainya.
“Untuk harga itu kan global. Karena pasaran udang ini ke luar negeri, salah satu negara tujuan ekspor terbesar dari Kaltara itu ke Jepang, yaitu 70 persen dari produksi yang ada,” ujarnya kepada Radar Kaltara saat ditemui di Tanjung Selor, Rabu (26/2).
Amir menegaskan, penyebab utama anjloknya harga udang windu ini karena udang vaname. Apalagi hampir semua negara membudidaya udang vaname secara besar-besaran, terutama India, Ekuador, Vietnam, dan Afrika Selatan.
“Udang vaname ini harganya paling tinggi Rp 90 ribu per kilogram. Sedangkan udang windu bisa sampai Rp 270 ribu per kilogram. Jadi jauh selisihnya, sekitar Rp 180 ribu. Padahal, itu sama-sama udang,” jelasnya.
Tak hanya itu, udang vaname ini dalam satu hektare bisa menghasilkan 10 ton sekali panen. Sementara kalau udang windu, hanya bisa dapat 30-40 kg per hektare. Artinya, selisih hasil ini jauh sekali perbedaannya. “Karena vaname ini intensif. Tingkat penebarannya tinggi dan makanannya full, dalam sehari bisa empat hingga lima kali,” sebutnya.
Sementara udang windu, itu makanan alami. Tidak ada suplai dari luar. Makanya udang windu itu disebut sebagai udang organik. Bahkan, kualitas udang windu di Kaltara itu menjadi salah satu yang paling bagus di dunia.
“Jadi, tanpa riset pun ini sudah bisa terlihat dari persaingan harga. Kalau disebut karena virus corona, itu memang menjadi salah satu penyebab juga. Tapi bukan faktor utama. Faktor utama itu udang vaname,” tegasnya.
Tapi, untuk mempertahankan kualitas dari udang windu tersebut supaya bisa tetap dalam keadaan baik sampai di konsumen, itu tidak boleh terlalu lama disimpan. Karena udang yang sudah mati itu, akan ada jutaan bakteri yang menyerang.
“Kalau di tempat lain, itu sudah jarang ada yang sampai size 20. Kalau di Kaltara masih ada yang sampai size 20 hingga 18. Terlebih yang intensif, itu biasanya paling hanya sampai size 40-50. Jadi udang kita ini cukup besar,” bebernya.
Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kaltara tetap akan mempertahankan eksistensi udang windu di Kaltara. Bahkan, ia yakin udang windu di Kaltara itu masih bisa eksis. Hanya tinggal seperti apa mengubah pola budidayanya.
Sementara, Kepala Unit Advistory Bidang Ekonomi dan Keuangan Kantor Perwakilan (KPw) Bank Indonesia (BI) Kaltara, Arnold Sitanggang juga mengatakan hal yang sama, yakni salah satunya karena beberapa negara yang sebelumnya menjadi konsumen, sekarang sudah memproduksi udang dengan sendirinya.
Tapi, akibat mewabahnya virus corona di Tiongkok juga menjadi salah satu faktornya. Sebab, beberapa negara yang tujuan ekspor udangnya ke Tiongkok, beralih ke Jepang. Karena sekarang aktivitas masuk dan keluarnya barang di Tiongkok lebih diperketat pengawasannya.
“Kalau dari sisi perusahaan, kami melihat permintaan akan udang ini akan terus terjaga. Itu berdasarkan kunjungan Bank Indonesia ke perusahaan,” sebutnya.
Apalagi dengan adanya Olimpiade 2020 di Tokyo, Jepang, perusahaan juga mengakui bahwa ada peningkatan permintaan ekspor udang di April atau triwulan II tahun 2020. Artinya, secara makro, untuk udang ini relatif lebih terjaga.
Disinggung soal harga melihat potensi permintaan yang naik, ia menjelaskan, sesuai hukum ekonomi, apabila permintaan itu meningkat, maka harga pasti meningkat. Tapi, untuk persoalan harga itu tetap akan lebih ke mekanisme pasar.
“Kita berharap harganya bisa meningkat, supaya bisa meningkatkan nilai ekspor kita (Kaltara) dan pada akhirnya akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi Kaltara,” jelasnya.
Terpisah, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kaltara, Norhayati Andris mengatakan, secara internasional, itu ada keterkaitannya dengan wabah virus corona. Itu tidak hanya udang, tapi juga di sektor lain seperti usaha walet. “Jadi, banyak dampak yang terjadi. Artinya, udang ini hanya bagian kecilnya,” kata politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ini.
Untuk mempertahankan komoditi udang windu yang saat ini harganya anjlok, ia menegaskan bahwa itu menjadi tugas pemerintah melalui organisasi perangkat daerah (OPD) terkait. Dalam hal ini, OPD terkait harus terus berinovasi.
“Utamanya, petambak atau nelayan ini harus terus dibina. Dicari tau, apa yang menjadi kendala yang dialami. Jika sudah ditemukan, harus dicarikan solusinya,” sebut Norhayati.
“Apakah karena kualitas udang itu yang menurun atau seperti apa. Ini tugas dari para OPD terkait. Jadi mereka harus turun tangan, jangan melihat itu sebagai sesuatu yang gampang. Karena ini berpengaruh bagi perekonomian di Kaltara,” pungkasnya. (iwk/eza)