“Awalnya kami pindah dari Jakarta dibawa UPT-nya ke Sebuku di perkebunan kelapa sawit. Cuma waktu tidak sesuai dengan perjanjian, akhirnya kami cuma bisa bekerja 2 bulan. Akhirnya kami memutuskan berhenti karena beban kerja yang berat dan upah yang sangat minim,” ujarnya mengawali kisah, kemarin (21/2).
Setelah memutuskan berhenti, ia dan keluarga sempat binggung karena sulitnya mencari pekerjaan. Sang suami tak memiliki banyak keahlian. Akhirnya ia dan keluarga berpindah ke Kota Tarakan untuk mencari peruntungan baru.
Di Tarakan, Nemi mengawali pekerjaan sebagai pembantu dapur pada sebuah rumah makan. Lagi-lagi karena penghasilan yang minim, tidak dapat menutupi kebutuhan rumah tangganya.
“Ke sini dibawa menantu. Saya sempat kerja di rumah makan, tapi karena gaji hanya Rp 1 juta itu tidak bisa menutupi biaya hidup kami. Akhirnya kami memutuskan untuk menjadi pemulung,” tukasnya.
Di dalam lubuk hatinya, ia bahkan tidak pernah terpikir untuk menjadi seorang pemulung. Namun tuntutan hidup, membuatnya mengalahkan rasa ego. Walau begitu, ia tetap bersyukur karena masih mendapatkan pekerjaan yang halal.
“Mau bagaimana lagi mungkin ini sudah menjadi jalan hidup keluarga kami. Jadi saya di sini berdua suami saya setiap hari mulung cari barang bekas yang bisa dijual kembali,” tukasnya.