Tak pernah terlintas di pikirannya akan menghabiskan sebagian besar waktunya setiap hari bergelut di atas sampah. Bahkan ia tidak pernah menyangka pernah merasakan makan dari makanan yang ditemukan saat memilah sampah.
“Bagi orang tempat ini dan tempat sumber penyakit. Tapi bagi kami tempat ini penyambung hidup kami. Makan dari sampah, tidur pun dari sampah karena kami mengambil rezeki dari sini. Bahkan kalau kami mendapat makanan yang masih bagus, kami makan makanan itu. Memang hidup kami di Jawa juga sulit, tapi kami masih bisa makan makanan yang cukup layak,” tuturnya mengusap air mata.
Ia mengaku, semua pengalaman baru ia dapatkan selama menjadi seorang pemulung dalam 2 tahun terakhir hanyalah cobaan.
“Padahal waktu pertama ke sini selama seminggu saya tidak bisa makan di tempat ini. Pasti saya pulang ke rumah. Tapi mau bagaimana lagi karena tidak ada ongkos pulang, mahal, akhirnya saya coba menahan saja makan di sini,” ujarnya.
Untuk menjangkau TPA Hake Babu setiap harinya, ia harus menumpang kendaraan umum dari rumahnya. “Rumah saya cukup jauh dari sini saya tiap hari pergi dan pulang naik taksi. Kadang juga ada orang yang berbaik hati memberi tumpangan gratis. Di sini alhamdulillah kadang 10 hari bisa dapat Rp 700 sampai 800 ribu. Jadi penghasilannya bisa digunakan untuk makan, bayar listrik, kontrakan dan biaya enam anak saya,” tuturnya.
Walau demikian, 2 dari 3 orang anak yang masih duduk di sekolah dasar, kerap kali dihadapkan pada pembayaran sekolah.