“SPP Sekolah Anak Masih Sering Menunggak”

- Sabtu, 22 Februari 2020 | 11:14 WIB
MENGAIS: Ibu Nemi sedang memilah sampah yang akan dijual.
MENGAIS: Ibu Nemi sedang memilah sampah yang akan dijual.

Menjadi pemulung bukanlah cita-cita ibu 6 anak ini. Namun karena kondisi yang sulit memaksanya untuk mengais sampah agar dapat melanjutkan kehidupan. Ialah Nemi seorang ibu rumah tangga berusia 40 tahun, tetap semangat menjalani pekerjaannya sebagai pemulung.

 

AGUS DIAN ZAKARIA

 

AWAL menjadi pemulung 2 tahun lalu, saat itu ia dan sang suami Sudarto (60) memutuskan untuk mengadu nasib di Kalimantan. Dengan maksud bekerja di sebuah perusahaan sawit yang dijanjikan sebuah kantor yang merupakan tempat awal ia bekerja.

Namun, setelah hitungan bulan bekerja, upah dan jam kerja tidak sesuai seperti yang dijanjikan seseorang sebelum ia dan keluarganya memutuskan pindah ke Kalimantan. Nemi dan suami memutuskan untuk berhenti dari pekerjaan tersebut.

“Awalnya kami pindah dari Jakarta dibawa UPT-nya ke Sebuku di perkebunan kelapa sawit. Cuma waktu tidak sesuai dengan perjanjian, akhirnya kami cuma bisa bekerja 2 bulan. Akhirnya kami memutuskan berhenti karena beban kerja yang berat dan upah yang sangat minim,” ujarnya mengawali kisah, kemarin (21/2).

Setelah memutuskan berhenti, ia dan keluarga sempat binggung karena sulitnya mencari pekerjaan. Sang suami tak memiliki banyak keahlian. Akhirnya ia dan keluarga berpindah ke Kota Tarakan untuk mencari peruntungan baru.

Di Tarakan, Nemi mengawali pekerjaan sebagai pembantu dapur pada sebuah rumah makan. Lagi-lagi karena penghasilan yang minim, tidak dapat menutupi kebutuhan rumah tangganya.

“Ke sini dibawa menantu. Saya sempat kerja di rumah makan, tapi karena gaji hanya Rp 1 juta itu tidak bisa menutupi biaya hidup kami. Akhirnya kami memutuskan untuk menjadi pemulung,” tukasnya.

Di dalam lubuk hatinya, ia bahkan tidak pernah terpikir untuk menjadi seorang pemulung. Namun tuntutan hidup, membuatnya mengalahkan rasa ego. Walau begitu, ia tetap bersyukur karena masih mendapatkan pekerjaan yang halal.

“Mau bagaimana lagi mungkin ini sudah menjadi jalan hidup keluarga kami. Jadi saya di sini berdua suami saya setiap hari mulung cari barang bekas yang bisa dijual kembali,” tukasnya.

Tak pernah terlintas di pikirannya akan menghabiskan sebagian besar waktunya setiap hari bergelut di atas sampah. Bahkan ia tidak pernah menyangka pernah merasakan makan dari makanan yang ditemukan saat memilah sampah.

“Bagi orang tempat ini dan tempat sumber penyakit. Tapi bagi kami tempat ini penyambung hidup kami. Makan dari sampah, tidur pun dari sampah karena kami mengambil rezeki dari sini. Bahkan kalau kami mendapat makanan yang masih bagus, kami makan makanan itu. Memang hidup kami di Jawa juga sulit, tapi kami masih bisa makan makanan yang cukup layak,” tuturnya mengusap air mata.

Halaman:

Editor: anggri-Radar Tarakan

Tags

Rekomendasi

Terkini

Pemkab Nunukan Buka 1.300 Formasi untuk Calon ASN

Kamis, 18 April 2024 | 12:44 WIB

Angka Pelanggaran Lalu Lintas di Tarakan Meningkat

Kamis, 18 April 2024 | 11:10 WIB
X