TIBA di Tarakan kemarin (22/1), dua personel Pusat Laboratorium Forensik (Puslabfor) Mabes Polri Cabang Surabaya langsung melakukan olah tempat kejadian perkara (TKP) di lokasi kebakaran Pasar Batu, Kelurahan Sebengkok, Tarakan Tengah. Hampir dua jam olah TKP dilakukan.
Sebelum olah TKP, petugas Puslabfor terlebih dahulu meminta keterangan terhadap tiga saksi. Salah satunya yaitu saksi yang menempati rumah yang diduga awal mula api, yaitu Nur.
Para saksi dimintai keterangan terhadap bentuk denah rumah, keadaan dan aktivitas yang menghuni rumah tersebut sebelum adanya api, hingga setelah api menyala. Setelah mendapatkan gambaran bahwa asal mula api diduga berasal dari dapur, olah TKP pun fokus dilakukan di tempat yang diduga dapur.
Dari pantauan Radar Tarakan, satu unit bekas tabung elpiji 3 kg dan kompor gas dibawa petugas Puslabfor.
Kapolres Tarakan AKBP Fillol Praja Arthadira yang sempat menyaksikan proses olah TKP menuturkan, adapun tujuan kedatangan dari petugas Puslabfor yaitu membantu penyidik Satreskrim Polres Tarakan melakukan penyelidikan untuk mengetahui penyebab terjadinya kebakaran.
“Jadi nanti mereka akan menggali dan menggabungkan dengan data yang kami miliki. Untuk bisa kami simpulkan apa yang menjadi penyebab kebakaran,” ungkapnya.
Diakui Kapolres, berdasarkan keterangan personel Puslabfor bahwa belum bisa dipastikan kapan akan diketahui hasilnya. Proses olah TKP dan penyelidikan masih berlangsung.
Namun apabila data-data yang dibutuhkan sudah lengkap, kemudian sudah ada kesimpulan, baru pihaknya menyampaikan penyebab pasti kebakaran yang menghanguskan ratusan rumah dan ruko itu.
Kemudian untuk Nur, yang merupakan penghuni di rumah itu, saat ini masih berada di Mapolres Tarakan untuk dimintai keterangan.
“Kami lihat nanti (dinaikkan ke tingkat penyidikan). Sementara saksi masih kami mintai keterangannya, untuk mendukung dari penentuan penyebab terjadinya kebakaran,” tegasnya.
Ditambahkannya lagi, untuk Nur sampai saat ini masih berstatus sebagai saksi. Bahkan masih ada beberapa saksi lagi yang sudah diperiksa penyidik Satreskrim, mengguatkan keterangan kronologis dari kejadian itu. Bahkan api yang sempat diduga dari dapur, Fillol menegaskan masih terus diselidiki.
Perlu bukti yang kuat untuk mengetahui api dari dapur itu.
Pihaknya memastikan penyidik Satreskrim Polres Tarakan akan terus berkoordinasi dengan Puslabfor Cabang Surabaya, dalam melakukan penyelidikan. “Apa yang kami kumpulkan dan hasil temuan di sini, kemudian kami diskusikan untuk simpulkan apa penyebabnya,” imbuh pria yang berpangkat melati dua ini.
Mengenai kelanjutan dari perkara ini, Fillol memastikan nantinya akan menunggu hasil dan rekomendasi terhadap penyebab kebakaran dari Puslabfor, baru pihaknya melakukan gelar perkara. “Kami gelar perkara dulu untuk kelanjutannya,” tutupnya.
PEMULIHAN TRAUMA
Musibah kebakaran itu menyisakan kesedihan mendalam bagi korban, khususnya anak-anak.
Aktivitas keseharian mendadak berubah. Yang seharusnya bersekolah, tetapi harus menyesuaikan dengan perlengkapan sekolah seadanya. Kondisi ini dapat menimbulkan tekanan, bahkan trauma. Tidak ditangani dan berkelanjutan, dapat berujung pada gangguan psikologis, seperti depresi maupun traumatis.
Dijelaskan psikolog Fanny Sumajouw, S.Psi, PSI, sebenarnya sejak pertama melihat kejadian tersebut, besar kemungkinan sang anak sudah merasakan trauma. “Karena menurut dari cerita anak-anak yang kami dengar, dia pergi sekolah dengan keadaan baik-baik. Tapi pulang sekolah, dari jauh sudah lihat asap, di situ dia merasa kenapa orang pada keluar dan berteriak,” jelasnya kepada Radar Tarakan, Rabu (22/1).
Dia mengatakan, saat hari pertama melakukan pendampingan, Selasa (21/1), ada beberapa anak yang menunjukkan gejala trauma. Namun ada pula anak yang terlihat senang, karena berkumpul bersama teman-temannya. Namun yang dikhawatirkan, anak yang terlihat senang ini karena terbawa suasana berkumpul bersama temannya.
“Mungkin sekarang konsentrasinya terbagi-bagi dengan adanya teman. Tapi yang dikhawatirkan, setelah 14 hari ketika dia sudah ke tempat yang baru, merasa sepi apalagi yang sebelumnya ada ini dan itu, tapi sekarang lenyap, maka mulai ketidaksiapan mental,” lanjutnya.
Mengantisipasi traumatis yang berlanjut, sementara ini ia bersama rekan-rekannya melakukan terapi kelompok untuk pemulihan atau healing. Apalagi menurut laporan yang ia terima, ada anak yang jatuh sakit, mengigau dan tidak mau makan saat hari pertama kejadian.
“Kalau misalnya ada anak yang mengalami trauma psikis agak mendalam, maka kami akan lakukan face to face (tatap muka)secara pribadi. Untuk tahap pertama ini, masih aman,” bebernya.
Terapi ini pun terus berkelanjutan, hingga anak-anak tersebut benar-benar bisa menerima kenyataan. Apalagi usia korban yang didampingi kisaran 8 tahun hingga 14 tahun, yang sudah mengerti arti kehilangan.
“Dari Puspa (Partisipasi Publik untuk Kesejahteraan Perempuan dan Anak) saat terjun ke lapangan, tidak langsung selesai. Karena yang luka itu psikis, bukan fisik yang kalau dikasih obat sudah bisa sembuh. Tidak cukup hanya kemarin, tapi harus berkelanjutan. Kita juga dibantu dengan teman-teman lainnya,” katanya.
Hampir mencapai 50 anak yang didampingi di tempat pengungsian. Dalam hal ini juga, ke depan dia berharap orang tua, keluarga dan orang terdekat dapat membantu menghilangkan rasa trauma atau ingatan yang menyedihkan.
“Karena ada anak yang sakit, ada yang ke rumah keluarga jadi tidak sampai 50 anak yang didampingi. Kalau dari keluarga bisa membantu dari pola asuhnya. Yang kami khawatirkan, orang tuanya stres sampai mengungkit kisah lama ini. Jadi itu bisa memengaruhi mental anak,” tutupnya. (zar*/one/lim)