Jangan Kira Aman, Peta Bidang Tanah Belum Menguatkan Kepemilikan

- Selasa, 10 Desember 2019 | 10:47 WIB

TARAKAN – Sebagian besar lahan masyarakat belum memiliki sertifikat kepemilikan. Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) menargetkan akan melakukan pengukuran pada 1.600 bidang tanah masyarakat di tahun 2020.

Hal tersebut juga dimaksudkan untuk mengejar target nasional sebanyak 75 juta bidang tanah dalam jangka 9 tahun di seluruh Indonesia. Sehingga, pada tahun 2020 BPN Tarakan mengupayakan agar pengukuran bidang tanah dapat segera terselesaikan sebelum jangka waktu tersebut.

Kepala Sub Bagian (Kasubag) Tata Usaha BPN Tarakan Masronata Sitanggang menjelaskan, kebijakan ini dituangkan dalam Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 6 Tahun 2018 tentang Percepatan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) dan Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2018 tentang Percepatan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap di Seluruh Wilayah Republik Indonesia. Sehingga, pihaknya berharap dapat menyelesaikan PTSL sesuai yang ditargetkan.

“Target 2020 itu 1600 peta bidang tapi bisa menunggu perubahan revisi lagi kalau sekiranya ada perubahan kebijakan lagi. Tergantung apakah target itu bisa lebih besar atau lebih kecil. Karena sebelumnya harus melihat kondisinya,”ujarnya, kemarin (9/12).

Ia menjelaskan, pada pemetaan bidang di tahun 2018, pihaknya telah menyelesaikan pengukuran sebesar 2.800 peta bidang. Meski demikian, dari jumlah tersebut hanya sekitar 1.450 peta bidang yang berhak mendapatkan sertifikat. Hal itu disebabkan, banyaknya lahan masih dalam terikat perkara antar pihak. Sehingga pihaknya tidak dapat melakukan pengurusan sertifikasi lebih lanjut. Walau demikian, pihaknya belum dapat melakukan perekapan di tahun 2019. Hal itu disebabkan proses sertifikasi masih berjalan.

“Ada yang terkendala. Tapi peta bidangnya sudah ada, cuma untuk sertifikatnya belum karena berbagai faktor,” tukasnya.

Ia menjelaskan, Tarakan merupakan daerah yang memiliki masalah berbeda dari daerah lainnya. Sehingga menurutnya, banyaknya terdapat kendala dalam proses sertifikasinya.

“Yang menjadi kendala terbitnya sertifikat adalah adanya persengketaan yang belum diselesaikan melalui jalur hukum, adanya lahan yang masuk dalam zona tertentu, katakanlah area WKP atau lahan militer. Tapi itu tetap dilakukan pengukuran untuk mengetahui kondisi bidang tanahnya, tapi tidak menentukan siapa pemiliknya. Kalau soal itu yang bersangkutan bisa menyelesaikannya di pengadilan kemudian bisa mengajukan sertifikasi lagi,” tukasnya.

Dijelaskannya, peta bidang belum menguatkan jika lahan tersebut merupakan milik pemegang peta bidang. Hal tersebut dikarenakan peta bidang bukanlah sebuah petunjuk kepemilikan lahan yang sah, melainkan hanya petunjuk terhadap kondisi bidang tanah. Sehingga, tanpa adanya sertifikat bidang tanah tersebut belum dapat diklaim oleh pihak mana pun.

“Peta bidang ini, sebenarnya belum membuktikan jika tanah itu milik pihak tertentu, tapi peta bidang ini artinya hanya memberi informasi luas tanah, berbatasan dengan siapa, kondisi tanahnya dan letaknya di mana. Tapi belum menggambarkan pemiliknya, setelah ada sertifikat baru lahan itu sah menjadi hak pihak tertentu dalam artian pemiliknya,” jelasnya.

BPN tidak dapat berbuat banyak mengenai lahan yang bersengketa. Meski demikian, menurutnya kemungkinan mendapatkan sertifikat tetap ada jika perkara tersebut dapat diselesaikan di meja hijau.

“Memang kesulitan untuk Tarakan banyaknya spot tertentu yang berbenturan antara pihak satu pihak yang lain, khususnya badan tertentu, di antaranya sebagian Kampung Satu dan Kampung Empat, sebagian Kampung Enam, Kampung Bugis Kelurahan Karang Anyar, di Pamusian, Gunung Lingkas, Lingkas Ujung bagian gunung, Pantai Amal. Saya tidak paham bagaimana kronologi warga bisa menempati wilayah itu, yang jelas itu tidak akan bisa mendapat sertifikat jika perkaranya belum selesai,” ucapnya.

Mengenai adanya tarif PTSL yang berbeda, ia menjelaskan jika hal tersebut bukanlah kebijakan dari BPN. Menurutnya, sejauh ini BPN telah menjalankan kebijakan daerah terkait iuran yang harus dibebankan kepada masyarakat. Hanya, adanya kebijakan inisiatif pada setiap kelurahan berbeda, sehingga memunculkan perbedaan.

“Sebenarnya adanya iuran yang perwali itu, bukan dimaksudkan untuk biaya pengukuran. Karena PTSL ini kan merupakan prona, tapi Rp 250 ribu itu biaya persiapan pengukuran. Biaya inilah yang coba diakomodir pemerintah. Kalau memang daerah tidak bisa mengakomodir melalui APBD, maka hal itu bisa diposkan ke masyarakat sendiri melalui regulasi di daerah. Dalam artian sebelum mengajukan pengukuran warga harus menyiapkan segalanya termasuk surat lengkap, patok. Soal tiap kelurahan berbeda-beda itu kembali ke kelurahannya masing-masing,” jelasnya. (*/zac/lim)

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Ini Dia Delapan Aksi Konvergensi Tekan Stunting

Kamis, 25 April 2024 | 12:30 WIB

Dewan Negara Malaysia Kagum Perkembangan Krayan

Kamis, 25 April 2024 | 09:30 WIB

Gubernur Kaltara Sebut Arus Mudik-Balik Terkendali

Selasa, 23 April 2024 | 11:15 WIB

PLBN Sei Menggaris Segera Operasional

Sabtu, 20 April 2024 | 15:30 WIB

Pemkab Bulungan Beri Keringanan BPHTB

Sabtu, 20 April 2024 | 11:50 WIB

Di Bulungan, 400 Ha Lahan Ludes Terbakar

Sabtu, 20 April 2024 | 10:28 WIB

KMP Manta Rute KTT-Tarakan Kembali Beroperasi

Sabtu, 20 April 2024 | 10:01 WIB
X