Legenda Kampung yang Berubah Menjadi Batu

- Kamis, 14 November 2019 | 11:39 WIB

Taman Nasional Kayan Mentarang (TNKM) selain memiliki berbagai satwa yang dilindungi untuk dijadikan daya tarik wisata, juga memiliki destinasi wisata baru, yakni Batu Balui yang merupakan batu besar yang bila dicermati, menyerupai sekumpulan orang dan ada juga yang menyerupai bentuk binatang. Menurut legenda Batu Balui merupakan perkampungan yang berubah menjadi batu.

 

Januriansyah

 

PERJALANAN mengunjugi destinasi wisata baru Batu Balui di Taman Nasional Kayan Mentarang (TNKM), setidaknya harus mempersiapkan fisik dan mental yang kuat sebagai seorang penjelajah. Sebab perjalanannya menuju ke destinasi itu, lumayan memakan waktu cukup lama.

“Bisa melalui Tanjung Selor dan Malinau. Jika melewati Tanjung Selor harus naik long boat menuju ke Pujungan yang memakan waktu sekitar 2 malam. Setelah itu naik ketinting melewati Long Alongo 2 jam dan Apau Ping 2 jam,” tutur Johnny Lagawurin, Kepala Balai TNKM.

Sementara untuk rute dari Malinau harus melewati Lejo terlebih dahulu menunggu long boat, setelah itu perjalanan nanti melewati Pujungan, Long Alango dan tiba di Apau Ping.

“Untuk dapat tiba di Batu Balui, kita harus berjalan kaki lagi selama 2 jam, setelah itu kita bisa melihat batu besar yang bila dicermati menyerupai sekumpulan orang dan ada juga yang menyerupai bentuk binatang,” tuturnya.

Legenda Batu Balui, sudah menjadi cerita turun-temurun masyarakat di Desa Apau Ping, di mana menceritakan tentang berubahnya suatu desa dan warganya menjadi batu pada ribuan tahun silam.

“Jadi menurut cerita yang berkembang di masyarakat Desa Apau Ping, sejarah terbentuknya Batu Balui berawal dari sekolompok orang dari desa lain yang ada di sekitar Desa Apau Ping yang pergi berburu dan mencari buah-buahan di hutan yang kini sudah menjadi TNKM,” tuturnya.

Pada saat pergi ke hutan kelompok tersebut membawa serta anjing peliharaannya sebagai petunjuk berburu dan juga menemani sepanjang perjalanan, sepanjang perjalanan kelompok tersebut mendapatkan buah cempedak (artocarpus integer) dalam jumlah banyak.

“Sangking banyaknya buah cempedak tersebut, wadah yang telah mereka siapkan tidak mampu menampung buah-buah itu,” tuturnya.

Kelompok tersebut akhirnya mengikatkan buah cempedak tersebut ke kaki dan ke badan anjing yang diajak berburu, tujuannya tidak lain agar buah cempedak yang didapatkan bisa dibawa pulang ke desa.

“Sesampai di desa, perawakan anjing yang diikat dengan buah cempedak terlihat aneh, hal ini membuat semua orang di kampung menertawakan anjing-anjing tersebut,” tuturnya.

Setelah menertawakan perawakan anjing, tiba-tiba muncul suara gemuruh angin berhembus sangat kencang yang mengakibatkan rumah beserta fasilitas yang ada di desa tersebut porak-poranda.

Halaman:

Editor: anggri-Radar Tarakan

Tags

Rekomendasi

Terkini

Ini Dia Delapan Aksi Konvergensi Tekan Stunting

Kamis, 25 April 2024 | 12:30 WIB

Dewan Negara Malaysia Kagum Perkembangan Krayan

Kamis, 25 April 2024 | 09:30 WIB

Gubernur Kaltara Sebut Arus Mudik-Balik Terkendali

Selasa, 23 April 2024 | 11:15 WIB

PLBN Sei Menggaris Segera Operasional

Sabtu, 20 April 2024 | 15:30 WIB

Pemkab Bulungan Beri Keringanan BPHTB

Sabtu, 20 April 2024 | 11:50 WIB
X