Atraksi Budaya Gunting Abuk Masak Indong Dilestarikan

- Kamis, 31 Oktober 2019 | 20:47 WIB

MALINAU — Berbagai macam atraksi adat dan budaya terus ditampilkan di Imbaya Ulun Tidung Tahun 2019. Selasa (29/10), dilaksanakan dua atraksi adat yang menjadi satu bagian di Baloy Adat Tidung Desa Wisata Serindit Malinau Seberang, Kecamatan Malinau Utara.

“Sesuai jadwal, kita menggelar atraksi budaya gunting abuk atau potong rambut dan masak indong atau naik ayun,” ujar Ketua Umum Lembaga Adat Besar Tidung (LABT) Kabupaten Malinau Drs. H. Edy Marwan, M.Si, Selasa (29/10) di lokasi acara. 

Sebagai Ketua Umum LABT, dirinya bersyukur antusias warga Tidung untuk mengahadiri atraksi adat dan budaya sebagai bentuk pelestarian tersebut cukup luar biasa, sehingga kegiatan budaya yang memang pihaknya telah susun secara apik itu dapat terlaksana sebagaimana yang diharapkan. 

H. Edy Marwan menjelaskan, gunting abuk sebagaimana lazimnya adalah sesuatu yang memang sudah dikembangkan oleh masyarakat Tidung secara keseluruhan. Untuk itu, ia pun menegaskan bahwa semua adat istiadat yang tidak bertentangan dengan nilai agama, maka itu wajib untuk pihaknya pertahankan dan apabila bertentangan dengan nilai-nilai agama maka mutlak untuk dipertimbangkan untuk dipelajari dan secara perlahan ditinggalkan. 

“Terkait dengan gunting abuk tadi tentunya didahuli dengan pujian-pujian kepada Rasulullah melalui berdirinya dua buah kembang malay. Ini menandakan bahwa ada kekuatan tersendiri yang tersirat dan tersurat sehingga kegiatan itu dapat terlaksana dengan harapan ketika kita mengalunkan salawat-salawat Nabi,” ungkapnya.

Salawat Nabi itu, jelasnya, akan membekas baik pada yang melantunkannya maupun tempat yang melantunkannya, termasuk kepada yang memberikan hajatan khusus, terutama kepada bayi yang melakukan gunting abuk dan masak indong.

Saat menggunting abuk, lanjutnya, ada 7 orang tokoh secara bergiliran dimulai dengan timug pensalui (air pendingin) dengan harapan bagaimana dinginnya air yang dituangkan dalam sebuah bejana, yaitu sebuah kelapa, diharapkan begitulah dinginnya bayi tersebut sampai dia dewasa nanti. Dingin dalam rangka mengarungi bahtera kehidupan, baik pada saat dia usia anak, remaja, dewasa dan kelak mengaruhi bahtera kehidupan.

“Kemudian yang kedua, dia dihamburi beras kuning dengan diiringi dengan salawat. Insya Allah bagaimana cahayanya beras kuning itu, itulah yang mencahayakan dirinya, hatinya ketika berdampingan dengan masyarakat secara keseluruhan. Itulah tanda cahaya yang muncul dari beras kuning yang dihambur tadi itu. Nah sehingga tidak salah ketika kita menampilkan budaya Tidung adalah cahaya kedamaian bagi masyarakat Kaltara pada umumnya, masyarakat Tidung pada khususnya,” katanya. 

Kemudian setelah itu, lanjutnya lagi menjelaskan, dilanjutkan dengan masak indong. Seperti gunting abuk, bergantian juga dilakukan oleh para tokoh, baik tokoh pria maupun tokoh wanita. Hal itu menurutnya mempunyai makna bahwa kehidupan manusia itu silih berganti, seperti roda berputar, seperti dunia berputar, kadang kala di bawah, kadang kala di atas. 

“Nah yang kita harapkan bagaimana ketika kita sudah dewasa, kita mampu hidup di bawah dan bisa hidup di atas. Kita bisa menerima bagaimana kondisi keadaan kita hidup di dunia nanti, karena Rasulullah mengatakan ada tiga hal yang perlu untuk kita perhatikan, yang pertama kalau kita ingin berbahagia di dunia, harus kita punya konsep ilmu, kalau kita ingin berbahagia di akhirat juga harus punya konsep ilmu dan kalau kita ingin berbahagia di dunia dan akhirat juga harus punya konsep ilmu,” tegasnya.

“Nah inilah yang kita harapkan kepada anak kita nantinya dia mampu hidup di dunia, mampu hidup di akhirat dan mampu hidup dengan keduanya dengan penuh kebahagian tentunya dengan tetap belajar, belajar dan belajar sampai kapanpun,” pungkasnya. (adv)

Editor: anggri-Radar Tarakan

Rekomendasi

Terkini

PLN dan PWI Kalteng Gelar Donor Darah

Kamis, 29 Februari 2024 | 10:23 WIB
X