Kepala BMKG Kelas III Tanjung Harapan, Muhammad Sulam Khilmi menjelaskan, pada September peristiwa kebakaran hutan dan lahan (karhutla) memang sangat mendominasi, kondisi ini didukung dengan jumlah hari hujan yang rendah dan suhu udara maksimum yang tinggi yang mencapai 36,3 derajat celsius.
Akibatnya, terjadi kekeringan di beberapa wilayah di Kaltara, sehingga memudahkan potensi terjadi kebakaran hutan dan lahan. “Di Kaltara, Tanjung Selor menjadi wilayah terbanyak titik panas,” ungkap Sulam.
Berdasarkan analisa dinamika atmosfer, aliran massa udara di wilayah Indonesia didominasi angin timuran yaitu massa udara berasal dari Benua Australia. Massa udara yang dibawa bersifat dingin dan kering, sehingga terasa suhu udara pada malam hari dingin sedangkan pada siang hari terasa panas dan kering terjadi di beberapa wilayah di Indonesia terutama wilayah Jawa, Bali dan Nusa Tenggara.
“Dampak lain yang dirasakan adalah berkurangnya curah hujan di wilayah Indonesia, termasuk wilayah Kaltara,” sebutnya.
Angin pada lapisan 850 mb di wilayah Kaltara pada bulan September 2019 didominasi bergerak dari arah barat daya–tenggara dengan kecepatan 2 sampai 10 meter per sekon (m/s). Angin dari Benua Australia bergerak menuju Kalimantan Selatan (Kalsel) hingga Kalimantan Timur (Kaltim) menuju wilayah Kaltara.
“Analisis bulan September 2019 menunjukkan Madden-Julian Oscillation (MJO) tidak aktif di fase 3, 4 dan 5. Hal ini menunjukkan tidak ada potensi pertumbuhan awan konvektif yang disebabkan oleh MJO di wilayah Indonesia, oleh sebab itu hujan sulit untuk terjadi di bulan September 2019 di wilayah Kaltara,” sebutnya.