Masih Aman dari Potensi Radikal

- Jumat, 30 Agustus 2019 | 10:14 WIB

KONFLIK yang dipicu dari persoalan suku, ras, agama, dan antar golongan (SARA), akhir-akhir ini menimbulkan keprihatinan bagi kalangan akademisi dan pemerintah. Mengingat, hal tersebut sangat mengancam kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Dosen Universitas Borneo Tarakan (UBT) Yasser Arafat mengungkapkan, Tarakan masih cukup kondusif dalam hal kehidupan beragama.  Dalam artian, tidak ada konflik yang berarti terkait masalah ini. “Namun kita patut mewaspadai, bahwa bibit-bibit, radikalisme dan intoleransi pasti ada di semua daerah,” ujarnya (29/8).

Ia menerangkan, adanya aksi terorisme, penistaan agama, dan gesekan umat beragama, terjadi karena adanya sikap intoleran pada individu tertentu. Seiring perjalanan waktu dan dipengaruhi lingkungan, sehingga sikap itu berkembang menjadi radikalisme. Setelah mengalami perkembangan akhirnya individu tersebut berpotensi melakukan aksi terorisme.
“Jadi seorang teroris itu, berangkat dari paham radikal. Radikal itu, berangkat dari intoleran. Intoleran itu, merupakan individu yang tidak bisa menahan diri untuk menunjukkan ketidaksukaan kepada orang yang berbeda,” tuturnya.

Ia menjelaskan diskusi-diskusi sangat diperlukan untuk mencegah paham radikal meluas di masyarakat. Mengingat saat ini, paham radikal bukan hanya musuh bagi umat beragama saja, melainkan musuh bagi NKRI. Mengingat, isu SARA tergolong masalah sensitif.

“Memang penting bagi kita melakukan diskusi-diskusi yang membahas terkait hal ini. Karena, masyarakat harus selalu diberikan pemahaman, terhadap wawasan kebangsaan. Di lingkungan kampus di Tarakan sendiri sebetulnya, masih relatif terkendali dalam konteks kerukunan beragama. Karena lingkungan akademis memang sejatinya sudah terbiasa dengan perbedaan. Perbedaan pendapat, pemikiran, ideologi dan lain-lain. Sehingga perbedaan sendiri di kalangan akademisi sudah menjadi hal yang lumrah,” tukasnya.

Kepala Kementrian Agama (Kemenag) Tarakan H.M. Shaberah Ali menerangkan, mudahnya masyarakat awam terpapar radikalisme disebabkan karena pemahaman yang dangkal terhadap agama. Dengan kondisi tersebut,  membuat beberapa individu mudah terprovokasi. “Sebetulnya banyaknya masyarakat yang terpapar radikalisme karena kurang tuntasnya pemahaman agamanya. Jadi, dalam belajar jangan sepotong-sepotong. Jika kita memahami semua agama mengajarkan perdamaian,” tuturnya.

Saat ini kelompok radikalisme dalam kelompok tertentu belum memahami secara keseluruhan isi dari ajaran agama tersebut. Sehingga hal itu, menimbulkan adanya pergeseran pemahaman yang membuat kelompok tertentu bersikap intoleran.

“Sikap intoleran ini penting untuk kerukunan umat beragama. Kalau ingin mencontoh tauladan toleransi seseorang, tirulah Nabi Muhammad SAW. Beliau mengasihi umat non-muslim, tidak pernah melarang agama lain beribadah dan menghormati orang yang berkeyakinan di luar Islam. Dengan mentauladani sikap Nabi Muhammad kita pasti bisa hidup dengan berdampingan,” pungkasnya. (*/zac/lim)

Editor: izak-Indra Zakaria

Rekomendasi

Terkini

Pemkab Nunukan Buka 1.300 Formasi untuk Calon ASN

Kamis, 18 April 2024 | 12:44 WIB

Angka Pelanggaran Lalu Lintas di Tarakan Meningkat

Kamis, 18 April 2024 | 11:10 WIB
X