Konflik Agraria dan Intoleransi Jadi Perhatian

- Rabu, 21 Agustus 2019 | 10:15 WIB

TANJUNG SELOR – Dari empat prioritas yang harus dituntaskan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), ada dua yang menjadi perhatian di Kalimantan Utara (Kaltara), yakni konflik agraria dan intoleransi.

Komisioner Komnas HAM RI, Munafrizal Manan mengatakan, khusus dari provinsi termuda Indonesia ini, ada dua laporan konflik agraria yang masuk ke Komnas HAM. Konflik itu berupa pengaduan sengketa lahan yang terjadi di Kabupaten Bulungan.

“Pengaduan konflik agraria itu sudah ditindaklanjuti oleh Komnas HAM. Dan sekarang masih berproses,” ujar Munafrizal kepada Radar Kaltara saat ditemui di Tanjung Selor, Selasa (20/8).

Dalam hal ini, Komnas HAM sudah mengirimkan permintaan klarifikasi kepada pihak-pihak terkait. Pastinya, pihaknya juga mengapresiasi upaya penanganan yang sudah dilakukan oleh pemerintah daerah mengenai konflik agraria tersebut. Sementara untuk yang kasus intoleransi,  laporannya belum masuk. Tapi sudah di-sounding ke Komnas HAM. Untuk penanganannya, Komnas HAM akan melihat terlebih dahulu seperti apa perkembangannya.

“Jika bisa diselesaikan oleh daerah sendiri, itu lebih bagus. Karena dengan kearifan lokal di sini bisa lebih pas untuk menyelesaikan,” katanya.

Tapi lanjutnya, jika misalnya nanti ternyata konflik itu terus bereskalasi dan Komnas HAM memang perlu turun tangan, maka Komnas HAM akan siap untuk melakukan penanganan persoalan tersebut.  Sementara, Asisten Bidang Pemerintah dan Kesejahteraan Rakyat (Kesra) Sekretariat Provinsi (Setprov) Kaltara, H. Sanusi mengatakan, memang ada beberapa konflik agraria yang dilaporkan ke Pemprov Kaltara.

“Namun sejauh ini kita menanganinya secara normatif. Artinya, pemerintah daerah juga berupaya melakukan pendekatan-pendekatan sesuai dengan kaidah yang memang jadi bagian di kita (pemerintah),” sebutnya.

Berbicara masalah konflik tanah, memang beberapa waktu lalu sempat mencuat, seperti pembebasan lahan di kawasan Kota Baru Mandiri (KBM) Tanjung Selor. Namun sebagaimana mekanisme yang ada, di sini pemprov bertindak sebagai pengguna. 

“Kita bergerak sesuai Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Di situ kita berkoordinasi dengan BPN, dan yang melakukan pembebasan adalah BPN,” jelasnya.

Dalam UU Nomor 2 Tahun 2012 itu sudah jelas disebutkan, untuk pembebasan lahan itu harusnya mengacu pada standar yang sudah dihitung oleh tim appraisal. Untuk yang tumpang tindih kepemilikannya, itu secara normatif diserahkan ke pengadilan.

Artinya, silakan pihak yang merasa lahannya tumpang tindih berperkara di pengadilan. Adapun untuk tanahnya yang sudah disediakan sesuai dengan perhitungan tim appraisal itu sudah dititipkan di pengadilan.

“Tapi kita dari pemprov tidak hanya sampai di situ, kita tetap berupaya untuk mempertemukan pihak-pihak yang bermasalah sebagai upaya fasilitasi agar mereka bisa saling memahami,” tuturnya.

Pastinya, secara normatif, sebenarnya hal ini bukan tugas pemerintah selaku pihak yang membutuhkan lahan. Tapi di sini merupakan salah satu upaya supaya program pemerintah bisa terlaksana dengan baik, aman dan lancar. (iwk/zia)

Editor: anggri-Radar Tarakan

Rekomendasi

Terkini

Pemkab Nunukan Buka 1.300 Formasi untuk Calon ASN

Kamis, 18 April 2024 | 12:44 WIB

Angka Pelanggaran Lalu Lintas di Tarakan Meningkat

Kamis, 18 April 2024 | 11:10 WIB
X