Ratusan Anak Tak Diberi Pilihan

- Jumat, 31 Mei 2019 | 11:17 WIB

TARAKAN – Sistem penerimaan peserta didik baru (PPDB) pada tahun ini menimbulkan banyak spekulasi di masyarakat. Salah satunya dinilai tak efektif dalam kemajuan dunia pendidikan di Indonesia.

Sistem yang diadopsi dari sistem zonasi saat ini juga dinilai tidak berpihak kepada masyarakat kurang mampu, khususnya masyarakat pesisir dan kawasan tertentu lainnya. Sehingga, berjalannya sistem tersebut, membuat sebagian besar calon siswa dari keluarga kurang mampu dihadapkan pada pilihan tak dapat melanjutkan sekolah.

Akademisi Universitas Borneo Tarakan (UBT) Dr. Suyadi, S.S, M.Ed, menilai seharusnya pendidikan dapat memberikan peluang seluas-luasnya kepada peserta didik untuk memilih sekolah mereka untuk melanjutkan pendidikan sesuai kapasitasnya. Selain itu, menurutnya jika alasan pemerintah menerapkan sistem zonasi hanya demi pemerataan status sekolah, menurutnya hal tersebut disertai antisipasi konkret, agar pada praktiknya tidak ada satu pun masyarakat yang dirugikan.

“Menurut saya, seharusnya pendidikan itu memberikan siswa pilihan seluas-seluasnya untuk memilih sesuai kapasitas yang dimiliki oleh siswa itu sendiri. Jadi, pembatasan zonasi misalnya, itu kalau ada alasan-alasan tertentu, misalnya bisa dipertanggungjawabkan secara rasional itu bisa disesuaikan. Namun jangan sampai,  menutup peluang bagi siswa yang meminati sekolah tertentu,” ucapnya.

Ia mengakui, masalah pendidikan saat ini amatlah runyam, karena tidak merata minat peserta didik pada setiap sekolah. Sehingga dengan sistem zonasi dapat membuat penyebaran siswa lebih merata. Hanya, strategi tersebut seharusnya juga tidak menjadi penghambat untuk bersekolah di sekolah si anak.

Meski dalam sistem PPDB juga terdapat jalur prestasi dan perpindahan orang tua, namun kuota yang tersedia tidak memadai, sehingga masih banyak siswa berprestasi tidak dapat memanfaatkan prestasinya tersebut.

“Semua orang memiliki peluang yang sama. Zonasi memang baik, supaya tidak ada penumpukan siswa pada sekolah tertentu. Artinya supaya seluruh sekolah memiliki status sama dan terpenuhi jumlah peserta didiknya. Karena selama ini kecenderungan siswa berkumpul ke sekolah favorit, sehingga terdapat sekolah tertentu yang justru mengalami sepi pendaftar,” ulasnya.

Namun, di satu sisi juga perlu mengapresiasi nilai siswa. Salah satunya dengan memberikan peluang kepada mereka yang mau melanjutkan ke sekolah favorit. Selain itu, kecilnya kuota jalur prestasi saya pikir tidak dapat menyerap siswa berprestasi secara maksimal,” ucapnya.

Menurutnya, berjalannya sistem zonasi saat ini terlihat pincang dengan tidak meratanya pembangunan sekolah di setiap wilayah. Ia menjelaskan, sebenarnya sangat memungkinkan untuk dilakukan penyebaran siswa tanpa adanya zonasi jika pemerintah mau menciptakan roadmap bagi setiap sekolah. Agar setiap sekolah, memiliki ciri khas dan tujuan berbeda. Dengan kondisi itu, status sekolah tidak lagi bergantung pada stigma favorit, karena setiap sekolah memiliki tujuan dan visi berbeda.

“Kalau di luar negeri, setiap sekolah memiliki keunggulan dan ciri khas masing-masing. Sehingga, siswa banyak pilihan sekolah yang dianggap terbaik. Seperti yang saat ini dijalankan pada perguruan tinggi. Sistem pendidikan kita selalu berubah tergantung siapa yang berkuasa. Saat ini pendidikan kita terpontang-panting. Seharusnya pemerintah pusat telah menciptakan target-target tertentu. Misalnya 5 tahun visi pendidikannya apa, 5 tahun selanjutnya apa, sehingga jelas arahnya ke mana. Ke arah mana siswa-siswa ini dipersiapkan untuk negara setelas lulus sekolah nanti,” tuturnya.

Lanjutnya, opsi lain untuk menyelamatkan kualitas pendidikan di suatu daerah adalah memperjuangkan regulasi pengecualian sesuai kondisi dan keadaannya masing-masing. Karena menurutnya, sebenarnya aturan pemerintah pusat hanya berkutat pada garis besar saja. Pemerintah daerah yang lebih memahami pelaksanaan teknis di lapangan. Dengan adanya masalah di Kota Tarakan dikarenakan tidak meratanya jumlah sekolah, tentu pemerindtah harusnya memperjuangkan regulasi pengecualian.

“Kalau adanya aturan pengecualian itu, saya pikir sah-sah saja. Tergantung kebijakan pemerintah masing-masing. Tarakan ini kondisi sekolah negerinya tidak merata. Walaupun mau membangun sekolah juga peluangnya sangat sulit karena faktor lahan dan anggaran. Sehingga pengecualian itu bisa saja diperjuangkan, untuk menyelamatkan generasi kita belajar di pada sekolah favoritnya,” urainya.

Kepala Seksi (Kasi) Pembinaan Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) pada Disdikbud Tarakan Wiranto mengungkapkan, saat ini pihaknya masih membahas banyaknya siswa yang belum diterima. Meski demikian, ia menegaskan pihaknya akan kembali membuka pendaftaran tahap II pada tanggal 10-11 Juni sebagai upaya untuk menyerap siswa yang tidak diterima sebelumnya.

"Saat ini kami masih melakukan pembahasan lanjutan, dan belum selesai. Tapi kami sepakat membuka pendaftaran tahap kedua. Di SMP negeri masih kekurangan 166 siswa," terangnya.

166 kursi kosong terdapat di kawasan Tarakan Timur yaitu SMP Negeri 10 dan 11.

Halaman:

Editor: anggri-Radar Tarakan

Tags

Rekomendasi

Terkini

Ini Dia Delapan Aksi Konvergensi Tekan Stunting

Kamis, 25 April 2024 | 12:30 WIB

Dewan Negara Malaysia Kagum Perkembangan Krayan

Kamis, 25 April 2024 | 09:30 WIB

Gubernur Kaltara Sebut Arus Mudik-Balik Terkendali

Selasa, 23 April 2024 | 11:15 WIB

PLBN Sei Menggaris Segera Operasional

Sabtu, 20 April 2024 | 15:30 WIB

Pemkab Bulungan Beri Keringanan BPHTB

Sabtu, 20 April 2024 | 11:50 WIB
X