Mendulang Banyak Suara

- Senin, 15 April 2019 | 13:16 WIB

Ada yang berbeda dari pelaksanaan perhitungan suara pada Pemilu 2014 dan 2019. Perhitungan itu pula mengubah sistematika perolehan. Catatannya, setiap partai harus mengejar lebih banyak suara untuk mendudukkan lebih banyak calonnya.

---

KOMISI Pemilihan Umum (KPU) mengungkap jika terdapat perbedaan perhitungan suara di dua Pemilu, 2014-2019. Meski tidak signifikan.

Merunut proses perhitungan suara dimulai dari tempat pemungutan suara (TPS) yang memiliki agenda pemungutan, perhitungan dan rekap surat suara. Pada 2019 ini Ketua KPU Kalimantan Utara (Kaltara) Suryanata Al Islami menjelaskan bahwa tidak adanya rekap perolehan suara di tingkat kelurahan, namun langsung ke tingkat kecamatan.

Jika ada hal yang perlu dikoreksi, maka dapat dilakukan pada tingkat kecamatan. Nah, apabila tingkat kecamatan selesai, maka surat suara tersebut akan direkap kembali di tingkat kabupaten/kota. Usai tingkat kabupaten/kota selesai, maka KPU provinsi akan melakukan rekapitulasi terhadap perolehan suara capres dan cawapres, DPR RI, DPD RI, dan DPRD provinsi yang akan dilanjutkan pada tingkat nasional. Sebab DPRD tingkat kabupaten/kota merupakan ranah KPU kabupaten/kota.

“Nanti ada tahapan tersendiri untuk kemudian proses lanjutan setelah proses rekap, akan dilihat parpol mana yang dapat kursi, barulah ada proses penetapan,” tuturnya.

Di 2014, KPU mengenal angka bilangan pembagi pemilih (BPP) yakni suara sah dibagi dengan jumlah kursi setiap dapil, maka KPU akan menghitung berapa suara minimal yang harus diperoleh parpol untuk mendudukkan satu caleg di setiap tingkatan.

Namun 2019 ini, KPU memiliki metode sainte lague. Pada tingkat nasional setiap parpol wajib memenuhi ambang batas 4 persen suara secara nasional. Jika tidak mencukupi, maka parpol tersebut tidak akan diikutkan dalam proses perhitungan tingkat nasional namun tetap ikut dalam proses perhitungan tingkat provinsi dan kabupaten/kota.

“Proses perhitungannya memang lebih enak pakai simulasi. Misalnya parpol A meraih 1.500 kursi, B dapat 1.000 dan C 500. Tapi ada 3 kursi kosong, misalnya satu kursi dapat 900. Nah, karena paling banyak parpol A tadi, maka suara A tinggal 600. Yang B sisa 100 suara, sedangkan C hanya 500 suara. Maka suara ketiga akan kembali ke parpol A karena suara A masih lebih banyak dari yang C,” jelasnya.

Sementara itu, perhitungan jumlah suara DPD RI Kaltara, memang baru akan dilaksanakan 2019 ini. sKaltara baru memiliki dapil terpisah dari Kaltim di tahun ini dengan alokasi 4 kursi dan 23 calon senator.

“Jadi bagaimana penentuan menangnya? Ya itu tergantung dari banyaknya perolehan suara yang diperoleh masing-masing peserta politik DPD,” katanya.

Untuk mendapatkan simpati dan dukungan dari masyarakat, menurut Suryanata merupakan ranah masing-masing peserta, mengajak dan meyakinkan masyarakat bahwa setiap calon dari parpolnya memang layak untuk dipilih.

Lantas, bagaimana cara menghitung suara dengan metode Sainte Lague?

Dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu, menyebutkan bahwa partai politik harus memenuhi ambang batas parlemen sebanyak 4 persen dari jumlah suara. Hal ini diatur dalam Pasal 414 ayat 1. Sesudah partai memenuhi ambang batas parlemen, langkah selanjutnya mengkonversi suara menjadi kursi di DPR.

Setiap partai politik yang memenuhi ambang batas akan dibagi dengan bilangan pembagi 1 yang diikuti secara berurutan dengan bilangan ganjil 3,5, 7 dan seterusnya. (lihat grafis)

Halaman:

Editor: anggri-Radar Tarakan

Tags

Rekomendasi

Terkini

Ini Dia Delapan Aksi Konvergensi Tekan Stunting

Kamis, 25 April 2024 | 12:30 WIB

Dewan Negara Malaysia Kagum Perkembangan Krayan

Kamis, 25 April 2024 | 09:30 WIB

Gubernur Kaltara Sebut Arus Mudik-Balik Terkendali

Selasa, 23 April 2024 | 11:15 WIB

PLBN Sei Menggaris Segera Operasional

Sabtu, 20 April 2024 | 15:30 WIB

Pemkab Bulungan Beri Keringanan BPHTB

Sabtu, 20 April 2024 | 11:50 WIB
X