PRAKTEK money politics tidak hanya masih menjadi hantu Pemilihan Umum (Pemilu) 2019. Money politics, tak mengenal daerah pemilihan (dapil).
Ketua Bawaslu Nunukan Muhammad Yusran membeberkan jika penyelenggara masih sulit dalam hal pembuktian. Selama ini, money politics masih sebatas dari mulut ke mulut, dan itu sudah tidak lagi menjadi rahasia umum.
“Tantangannya itu di pembuktian, butuh minimal saksi yang melihat dan berani bersaksi, jika tidak akan sulit dibuktikan di pengadilan karena itu mau tidak mau, suka tidak suka, masyarakat harus berani dan jangan takut melaporkan atau menjadi saksi. Bawaslu tidak boleh sendiri, rakyat harus hadir bersama kami, baru kita kuat dan baru kita bisa tegakkan keadilan pemilu,” ujarnya kepada Radar Tarakan, Rabu (10/4).
Menurutnya, setiap penindakan diperlukan keterangan saksi, dan syarat formal materiel. Hal tersebut menentukan suatu kasus itu bisa ditindaklanjuti atau tidak. “Kalau saksi tidak ada, mana bisa naik satu kasus di pengadilan. Saya membaca polanya masih konvensional, pola lama, diduga pelakunya juga itu-itu saja, mereka bisa dikatakan broker money politics, banyak malah kita endus di rancang kalangan terpelajar, ini satu paradoks ya, meskipun eksekusinya biasa dilakukan siapa saja,” nilainya.
Membuktikan money politics butuh keseriusan masyarakat luas. Masyarakat harus lebih terbuka. “Apalagi sekarang bedanya dengan dulu, pola meski konvensional tapi lebih silent. Mungkin takut dengan pengawas atau masyarakat yang sedikit banyak mendapat pengalaman dari pemilu ke pemilu. Mulai sadar. Yang pasti, dari informasi yang kami kumpulkan, kami akan rencanakan patroli gabungan, Bawaslu, kepolisian dan kejaksaan. Khusus mengendus politik uang ini saja,” urainya.
Juga menjadi tantangan bagi Bawaslu Nunukan dengan daerah yang masih sulit dijangkau. “Pasti lebih terbuka karena medan yang berat dan akses komunikasi yang sulit membuat pelaku kecurangan lebih leluasa. Tapi kami meyakini, kita sudah berbicara banyak dengan tokoh di sana (pedalaman) dan mereka ingin perubahan dari ketertinggalan di sana. Karena itu harus meninggalkan pola lama dan curang kalau ingin pemimpin dan perwakilan yang membawa perubahan,” tambahnya lagi.
Psikolog Sulistiyowati, S.Psi, sikap atas money politics adalah sikap individu. “Nilai (value) dan opini (opinion) atau pendapat sangat berhubungan erat dengan sikap (Azwar, 2005). Ada dari individu beranggapan money politics sah-sah saja, tidak boleh, harus ada hukuman, dan opini lainnya, hal tersebut adalah sikap individu,” kata Sulistiyowati.
Sikap seseorang tersebut kemudianberperanan dalam jenis responsnya. Respons sikap ada tiga, respons kognitif, respons perseptual dan pernyataan mengenai apa yang diyakini. “Misalnya seseorang yang berpandangan uang dari money politics uang 'abu-abu', dia akan memberikan respons yang berbeda dengan seseorang yang berpandangan uang dari money politics uang halal atau bersih,” jelasnya lagi.
Respons kedua adalah respons afektif, yaitu respons syaraf simpatetik dan pernyataan afeksi. Misalnya seseorang tidak suka dengan caleg yang mempergunakan uang untuk 'membeli' suara, tentunya money politics akan membuatnya memiliki sentimen negatif terhadap yang bersangkutan.
Respon ketiga adalah respons perilaku atau konatif, yaitu respons berupa tindakan atau pernyataan sikap. “Yang ketiga ini, seseorang akan membuat keputusan menerima atau menolak money politics, dengan menerima atau menolak pemberian dari caleg. Dari tiga respons inilah kenapa setiap individu memiliki perbedaan perilaku terhadap money politics,” ulasnya lebih jauh.
Sulitiyowaty mengungkap jika baik penerima maupun penerima politik uang tidak sehat secara psikis. “Kenapa demikian? Makna sehat secara psikis adalah kemampuan untuk menyesuaikan diri secara adekuat, baik dengan diri sendiri, dan lingkungan. Money politics dari norma sosial, agama dan hukum adalah perilaku yang menyimpang , artinya perilaku tersebut bukan hasil dari penyesuaian diri individu yang adekuat, sehingga perilaku money politics bisa disimpulkan sebagai perilaku tidak sehat,” tuturnya.
RUANG TERATAI SUDAH SESAK
Direktur RSUD Tarakan, dr. M. Hasbi Hasyim, menyatakan siap mendukung kelancaran pesta demokrasi lima tahunan itu melalui kerja sama dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Tarakan dan pasien serta perawat maupun pegawai rumah sakit pada hari H nanti.
Bahkan RSUD Tarakan juga menyatakan siap menampung caleg yang mengalami gangguan jiwa atau stres karena gagal duduk di kursi dewan. “Jika memang ada caleg stres karena gagal dan mau dirawat di RSUD Tarakan, kami selalu siap menampungnya,” ujar dr. Hasbi, sapaan akrabnya.