Menutup Demokrasi Sehat

- Senin, 25 Maret 2019 | 11:09 WIB

BAGAIMANA tinjauan hukum atas praktik money politics?

Ketua Konsentrasi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Borneo Tarakan (UBT) Dr. M. Ilham Agang, S.H, M.A, mengatakan, larangan-larangan dalam kampanye sudah diatur di dalam Undang-Undang 7/2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu).

Lebih lanjut dijelaskannya dalam Pasal 280 ayat (1) huruf j, dilarang menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta kampanye pemilu. “Para caleg pasti sudah paham aturan dan larangan kampanye apa saja, termasuk money politics. Bagi-bagi uang atau sembako itu sangat jelas dilarang dalam pemilu,” terangnya kepada Radar Tarakan akhir pekan lalu.

Dalam ayat 4 sangat jelas tertulis, pelanggaran terhadap larangan ketentuan pada ayat (1) huruf c, huruf f, huruf g, huruf I dan huruf j, dan ayat (2) merupakan tindak pidana pemilu.

“Dan ini sudah sangat jelas,” katanya.

Lantas apa sanksi bagi yang melanggar peraturan tersebut? Sesuai yang diatur di dalam Pasal 521, setiap pelaksana, peserta dan/atau tim kampanye pemilu yang dengan sengaja melanggar larangan pelaksanaan kampanye pemilu, dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan denda paling banyak Rp 24 juta. “Nah, ini sudah sangat jelas aturan hukumnya di Pasal 521 juncto Pasal 280 huruf j,” bebernya.

Lantas mengapa larangan ini tetap dilanggar? Karena yang bersangkutan mencari celah agar bisa mendulang suara. Mengenai jual beli suara selalu menjadi fenomena yang menarik setiap pemilu digelar. Money politics ini menjadi warisan yang tidak baik. “Tanggal 24 Maret sampai 13 April sudah masuk tahapan kampanye terbuka. Jadi kurang lebih 21 hari caleg melakukan kampanye terbuka, dan ini yang membuat masyarakat bingung, mau ke mana arah coblosnya. Money politics bukan rahasia lagi,” jelasnya.

Masyarakat berperan besar dalam pemilu, sehingga mindset alias cara berpikirnya harus diubah. Sehingga paham, hak pilihnya tidak bisa dibeli atau dinilai dengan uang. “Tentu tidak ada asap kalau tidak ada apinya. Kalau ada caleg datang, masyarakat juga bertanya berani bayar berapa? Artinya ini sistem demokrasi kita rusak. Jadi mindset masyarakat yang harus diubah,” tegasnya.

Apalagi Pemilu 2019, tepatnya 17 April mendatang serentak bersamaan pemilu calon legislatif maupun calon presiden dan wakil presiden. Sehingga menjadi pesta demokrasi terbesar. “Kurang lebih 24 hari lagi kan se-Indonesia memilih calon anggota DPRD tingkat kota, DPRD provinsi, DPR RI, DPD serta calon presiden dan wakil presiden. Jadi pesta demokrasi terbesar,” katanya.

Sekaligus Ketua Umum FKUB Muda Tarakan, diimbaunya masyarakat saling mengingatkan agar tidak menjual hak pilihnya atau suara demi keuntungan semata. Tetapi memilih pemimpin dengan melihat program kerjanya. “Jangan melihat apa yang diberikan, entah itu uang atau sembako. Jangan hanya karena beras, suara kita dibeli. Intinya mindset yang harus diubah,” imbaunya.

Masyarakat terlibat aktif dalam pemilu ini. Kemudian, para caleg maupun timses diharapkan dapat melakukan kampanye yang elegan dan bersih. Meraih suara rakyat melalui program yang baik. “Memilih pemimpin hanya berdasarkan uang, hasilnya juga kurang baik. Baru caleg saja sudah begitu, apalagi sudah bekerja? Memilih pemimpin yang tidak benar, masyarakat juga akan rugi,” katanya.

Lantas apakah jual beli suaraini ada hubungannya dengan kebutuhan hidup masyarakat? Kepala Lembaga Penelitian dan Pengabdi Masyarakat (LPPM) STIE Bulungan Tarakan Dr. Ana Sriekaningsih, S.E, M.M, mengatakan sebenarnya tidak ada kaitannya. Pasalnya masyarakat kurang mengerti dan beranggapan pemberian uang ini suatu kesempatan.

“Kadang masyarakat tidak paham juga, mau tidak mau ambil saja uangnya. Sebenarnya bukan karena kebutuhan hidup, tapi kapan lagi dapat uang, nanti juga dia (pejabat) lupa sama kita. Kan masyarakat berpikir seperti itu,” terangnya.

Money politics sebenarnya lebih berdampak pada perubahan kota bahkan negara lima tahun ke depannya. Pasalnya masyarakat lebih tergiur dengan tawaran atau menerima sejumlah uang yang diberikan melalui orang lain atau timsesnya. Padahalnya dalam dunia politik ini, yang dijual adalah visi dan misi atau program kerjanya selama lima tahun ke depan.

Padahal calon pemimpin yang baik, berhadapan langsung dengan masyarakat dan menyampaikan program kerjanya untuk membawa perubahan lima tahun ke depan.

Halaman:

Editor: anggri-Radar Tarakan

Tags

Rekomendasi

Terkini

Ini Dia Delapan Aksi Konvergensi Tekan Stunting

Kamis, 25 April 2024 | 12:30 WIB

Dewan Negara Malaysia Kagum Perkembangan Krayan

Kamis, 25 April 2024 | 09:30 WIB

Gubernur Kaltara Sebut Arus Mudik-Balik Terkendali

Selasa, 23 April 2024 | 11:15 WIB

PLBN Sei Menggaris Segera Operasional

Sabtu, 20 April 2024 | 15:30 WIB

Pemkab Bulungan Beri Keringanan BPHTB

Sabtu, 20 April 2024 | 11:50 WIB
X