Galau Menyebut Kartel

- Jumat, 1 Februari 2019 | 12:03 WIB

Pelaku usaha penerbangan domestik yang mengecil berpotensi menimbulkan permainan tiket jadi mahal. Membuka ruang praktik oligopoli.

-----

PAPAN tulis yang semula bersih tanpa goresan seketika penuh coretan tinta warna hitam. Isinya angka dan rangka. “Struktur pasar sebelumnya kan, Lion Group, Sriwijaya Air dan Garuda Indonesia Group. Kekhawatiran kami, karena struktur pasar semakin mengecil, dari oligopili jadi duopoli. Itu kekhawatiran kami,” tutur Kepala Kantor Perwakilan Daerah (KPD) Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Balikpapan (Kaltim-Kaltara) Abdul Hakim Pasaribu kepada Kaltim Post (Kaltim Post Group) saat ditemui di ruang kerjanya, Rabu (30/1) siang.

Pria asal Sumatera Utara (Sumut) itu secara khusus mengulas kemungkinan-kemungkinan yang terjadi di balik mahalnya tiket pesawat sebulan terakhir. Terlebih, rute via Bandara Internasional Sultan Aji Muhammad Sulaiman (SAMS) Sepinggan Balikpapan dan Bandara Juwata Tarakan.

“Acuan Balikpapan misalnya, mengalami kenaikan hampir lebih 100 persen dari harga normal. Padahal momentumnya bukan peak season. Setelah libur Natal dan Tahun Baru, tujuan Jakarta bisa dapat Rp 600-700 ribu. Ini Rp 1,8 juta. Menuju hampir tarif batas atas. Ada sesuatu,” imbuhnya.

Pria penyuka buah durian itu melanjutkan, sesuatu yang dimaksud adalah, harga tiket domestik yang semula serentak melonjak, kemudian bisa turun setelah ada desakan dari masyarakat.

Asosiasi Perusahaan Penerbangan Nasional Indonesia atau INACA sepakat menurunkan tarif tiket pesawat terbang yang melambung dalam beberapa pekan terakhir. “Nyatanya harga tiket bisa turun secara bersama,” katanya. Dirinya tak menampik, harga avtur dan komponen pesawat yang dinilai dengan mata uang dolar AS di setiap transaksi menjadi penyebab INACA menaikkan harga tiket.

Abdul Hakim melanjutkan analisis. Menurutnya, bila dicermati, kenaikan harga tiket mulai naik pertengahan 2018. Pergerakan harga tiket pesawat domestik terus merangkak. Dimulai ketika Garuda Indonesia Group melalui anak usahanya PT Citilink Indonesia, mengambil alih pengelolaan operasional Sriwijaya Air dan NAM Air.

Hal ini direalisasikan dalam bentuk kerja sama operasi (KSO) yang dilakukan oleh PT Citilink Indonesia (Citilink) dengan PT Sriwijaya Air dan PT NAM Air. KSO tersebut ditandatangani pada 9 November 2018. Nantinya, keseluruhan operasional Sriwijaya Group termasuk finansial akan berada di bawah pengelolaan dari KSO tersebut. 

Sejak saat itu, pelaku usaha penerbangan domestik praktis dikuasai dua grup. Garuda Indonesia Group dengan Garuda Indonesia, Citilink, Sriwijaya Air dan NAM Air. Sementara Lion Group disokong Batik Air, Lion Air dan Wings Air. Persaingan Lion Group dan Garuda Indonesia Group kini dalam radar KPPU menyusul naiknya harga tiket beberapa pekan terakhir. “Dalam penelitian kami. Sejauh mana, persaingan yang semakin mengecil membuat harga tiket mahal,” sebutnya.  

Berkaca pada prinsip ekonomi, ucap Abdul Hakim, semakin banyak pelaku usaha, maka semakin susah melakukan kesepakatan atau kesepahaman harga. “Kalau dari sisi teori memungkinkan oligopoli. Untuk membuktikan itu dalam penelusuran KPPU,” terangnya. Melanjutkan penjelasan prinsip ekonomi, dirinya menyatakan, semakin sedikit pelaku usaha, maka semakin rentan struktur pasar terkonsentrasi. Mengecil. Sehingga berpotensi mengatur harga antarpelaku usaha.

“Pilihannya, Lion Group akan perang dengan Garuda Indonesia Group atau sepakat. Mana yang menguntungkan menurut mereka. Pasti ada pilihan,” katanya. Kemungkinan itu sedang diteliti KPPU. “Pilihan mau perang atau sepakat. Kalau perang untungnya berapa. Sepakat berapa. Mana yang lebih tinggi,” bebernya.

Kecenderungannya, lanjut dia, beberapa rute penerbangan domestik yang turut dipanaskan maskapai Air Asia, harga tiket lebih murah. “Tapi apakah ini murni karena Air Asia atau ada faktor lain masih diteliti. Bisa jadi Air Asia tidak mau bermain dalam kesepakatan itu. Ke Kuala Lumpur pemainnya banyak. Sehingga harganya hampir hanya Rp 400 ribu,” ungkapnya.

Seperti saat diwawancarai Radar Tarakan, KPPU terus mencari alat bukti, mengenai potensi yang karte; dimaksud. Misalnya rute pembanding dengan beberapa maskapai lain. “Kami cari di rute lain, misalnya yang masih ada AirAsia. Kami pernah bandingkan Jakarta-Jogja, rute yang hampir sama. Harganya bisa setengah, dari yang tidak ada AirAsia. Terutama rute yang didominasi Garuda dan Lion. Di situlah, kenaikan harga tidak bisa dilihat itu langsung kartel. Makanya kami mencari alat bukti. Jangan sampai ke pengadilan, kita lemah di mata hukum,” tukasnya.

KPPU mencari dokumen, adakah tindakan kesepakatan oleh operator penerbangan yang indikasinya mengarah ke kartel. KKPU juga membandingkan lagi dengan penerbangan internasional. Contohnya Jakarta-Malaysia, masih dapat Rp 400 ribu. Dengan jarak Jakarta-Medan, malah lebih murah. “Menurut macam-macam (alasan), itu kan pembenaran mereka. Tapi, kami KPPU mencari alat bukti, jangan sampai melanggar UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Dampaknya masyarakat membayar mahal, dengan mahalnya, inflasi daerah tinggi,” sebutnya.

Halaman:

Editor: anggri-Radar Tarakan

Tags

Rekomendasi

Terkini

Data BPS Bulungan IPM Meningkat, Kemiskinan Turun

Kamis, 28 Maret 2024 | 17:00 WIB

Ombudsman Kaltara Soroti Layanan bagi Pemudik

Kamis, 28 Maret 2024 | 16:30 WIB

Harus Diakui, SAKIP Pemprov Kaltara Masih B Kurus

Kamis, 28 Maret 2024 | 11:10 WIB

Penanganan Jalan Lingkar Krayan Jadi Atensi

Kamis, 28 Maret 2024 | 11:10 WIB

Jalan Penghubung di Krayan Ditargetkan Maret Mulus

Selasa, 26 Maret 2024 | 13:50 WIB

3.123 Usulan Ditampung di RKPD Bulungan 2025

Selasa, 26 Maret 2024 | 07:00 WIB

Anggaran Rp 300 Juta Untuk Hilirisasi Nanas Krayan

Senin, 25 Maret 2024 | 18:45 WIB
X