Zonasi Rumput Laut Diharap Minimalisir Perselisihan

- Selasa, 29 Januari 2019 | 14:03 WIB

NUNUKAN – Rambu zonasi rumput laut ternyata diklaim belum bisa memakmurkan pembudidaya rumput laut. Polemik antar nelayan masih saja terjadi. Perselisihan area antar nelayan dan pembudidaya rumput laut masih saja terjadi. Hal ini pun membuat pemerintah sepertinya harus mengambil tindakan. Jika tidak, tidak menutup kemungkinan perselisihan akan terus terjadi. Itu diungkapkan Ketua Asosiasi Petani Rumput Laut, Kamaruddin kepada media ini.

“Ya, seharusnya pemerintah mengambil sikap untuk nasib pembudidaya rumput laut dan nelayan ini. Seharusnya pemerintah tahu bagaimana kacaunya rumput laut di Nunukan ini. Cobalah sekali-sekali ke lapangan,” keluh Kamaruddin.

Ia menjelaskan, kemungkinan besar jumlah nelayan yang ada di Kabupaten Nunukan lebih banyak dibandingkan pembudidaya rumput laut. Jika dipersentasekan, nelayan mencapai 60 persen, sementara pembudidaya rumput laut yang hanya sekitar 40 persen.  “Dugaan nelayan rumput laut ini, nelayan masih saja melewati zona. Jika kapal lewat, ada kemungkinan bisa rontok bibitnya, apalagi kalau dilanggar. Ini juga yang biasanya yang menjadi pemicu polemik,” tambahnya

Sebab Kamaruddin mengaku, dampak dari hal tersebut bisa membuat banyak bibit rumput laut yang diikat dengan tali bentangan kemudian ditanam banyak yang hilang. Kejadian ini diakui sejumlah pembudidaya rumput laut.  “Jadi bingung kami sekarang. Kalau melapor ke dinas yang bersangkutan, bahasanya tidak punya wewenang pengawasan. Jadi gak tau mau mengaku kemana,” terang Kamaruddin.

Sehingga mengenai pengawasan, ia pun bersikap internal kepada sejumlah pembudidaya dengan meminta masing-masing nelayan lakukan pengawasan sendiri. Apalagi, kata dia, mulai dari tahun 2016 hingga sekarang, pembudidaya rumput laut semakin bertambah. Bahkan, kebanyakan pembudidaya yang merupakan pendatang dari Sulawesi.

Sejauh ini, ia mengaku belum ada lahan yang terkena imbas rambu zonasi. Kendati begitu, jika ke depannya ada yang terkena dampak, ia berharap ada biaya ganti rugi yang diberikan pemerintah. Sebab, dalam satu pondasi biaya bisa mencapai Rp 50 juta. “Ya, kalau memang diharuskan untuk dicabut, janganlah cabut yang sudah tertanam di dalam karena tentu akan banyak kerugian yang akan ditanggung,” urai Kamaruddin mengakhiri. (raw/fly)

Editor: anggri-Radar Tarakan

Tags

Rekomendasi

Terkini

Pelayanan Pelabuhan di Tarakan Disoroti

Sabtu, 27 April 2024 | 08:55 WIB

Ini Dia Delapan Aksi Konvergensi Tekan Stunting

Kamis, 25 April 2024 | 12:30 WIB

Dewan Negara Malaysia Kagum Perkembangan Krayan

Kamis, 25 April 2024 | 09:30 WIB

Gubernur Kaltara Sebut Arus Mudik-Balik Terkendali

Selasa, 23 April 2024 | 11:15 WIB

PLBN Sei Menggaris Segera Operasional

Sabtu, 20 April 2024 | 15:30 WIB
X