NUNUKAN – Barang subsidi untuk masyarakat miskin di wilayah perbatasan tampaknya tak berlaku 100 persen. Upaya pemerintah untuk memberikan kemudahan berupa subsidi kepada warganya yang miskin justru belum mampu tercapai. Salah satunya, Liquified Petroleum Gas (LPG) 3 kilogram (kg).
Hingga saat ini, warga miskin harus bersaing dengan warga mampu untuk mendapatkan gas melon, sebutan lain LPG 3 kg tersebut. Bahkan, secara terang-terangan berlomba-lomba mendapatkannya di setiap sub agen atau pangkalan resmi dengan para pengecer yang notabenenya sebagai pedagang LPG subsidi ilegal.
Parahnya lagi, beberapa pangkalan resmi justru berani menjual gas melon tersebut di atas harga eceran tertinggi (HET) yang telah ditetapkan sebesar Rp 16.500 per tabung menjadi Rp 20 ribu per tabung. Warga miskin juga harus bersaing mendapatkan dengan para pengecer ilegal, dengan terpaksa membeli dengan pengecer ilegal ini seharga Rp 25 hingg 30 ribu per tabung.
Tak ayal, harga yang berselewaran di pengecer akhirnya dimanfaatkan pula bagi sejumlah warga mampu. Bahkan dari kalangan Aparatur Sipil Negara (ASN) itu sendiri. Baik ASN daerah maupun ASN instansi vertikal. Sebab, harganya sudah melebihi dari harga subdisi. “Saya memang pakai gas melon. Tapi, harganya bukan harga subsidi. Jadi, saya rasa itu sudah kebutuhan bersama. Kecuali saya beli sesuai HET di pangkalan resmi, jadi itu yang tidak boleh,” ungkap salah seorang ASN daerah yang bertugas di kantor sekretariat Kabupaten Nunukan saat dikonfirmasi alasannya menggunakan gas melon belum lama ini.
Ia mengaku, menggunakan gas melon di kalangan ASN itu bukan hal yang baru. Sebab, hampir semua ASN sudah menggunakan gas melon. Bahkan, tak hanya dua buah tabung saja, ada yang memiliki empat tabung 3 kg. Meskipun hanya sebagai pelengkap dikala LPG 14 kg milik Malaysia sedang kosong. “Selain ringan, gas melon ini juga banyak dijual,” akunya.
Sekretaris Dinas Perdagangan (Disdag) Nunukan Hasan Basri Mursali tak menampik informasi yang disampaikan tersebut. Ia mengatakan, gas melon yang sebenarnya menjadi hak warga miskin kini sudah hilang. Sebab, barang subdisi pemerintah yang tujuannya untuk membantu warga miskin justru lebih banyak dinikmati warga mampu. Termasuk usaha kuliner yang bukan termasuk usaha mikro kecil menengah. Seperti restoran dan rumah makan. “Memang saat masih kecil usahanya masih dimaklumi menggunakan LPG 3 kg tiga tabung. Tapi, sayangnya setelah usahanya meningkat dan semakin besar jumlah pelanggannya, masih betah pakai barang subsidi. Seharunyakan tahu diri,” ungkapnya saat dikonfirmasi persoalan LPG 3 kg yang saat ini belum mendapatkan solusi mengenai penyalurannya.
Hasan mengungkapkan, minimnya pengawasan yang dilakukan selama ini akibatnya kurangnya personel di pihaknya. Sehingga, sangat dibutuhkan satuan tugas (satgas) pengawasan. Selain itu, belum adanya unit pelaksana teknis daerah (UPTD) Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) Provinsi Kalimantan Utara (Kaltara) di Kabupaten Nunukan menambahkan lemahnya pengawasan LPG subdiri tersebut. “Pemilik pangkalan juga banyak yang bandel. Meskipun telah ditegur, mereka tetap nekad melakukan pelanggaran. Utamanya soal HET itu. Kalau ada petugas, sesuai aturan. Tapi, kalau tidak ada, semaunya mereka. Bahkan, ada yang sampai sengaja kerja sama dengan pengecer ilegal karena harganya mahal,” bebernya.
Untuk itu, lanjutnya, salah satu upaya yang ingin dilakukan ini meminta ketegasan agen untuk mengawal dan mengawasi ketat para pangkalan nakal. Sehingga, penyalurannya benar-benar sesuai dan harganya juga sesuai HET. “Kami akan koordinasi dengan pihak Pertamina tentang ususlan HET itu dinaikkan menjadi Rp 20 ribu per tabung. Karena di Kaltara itu, Nunukan paling murah HET-nya,” jelasnya. (oya/ash)