Batik Bultiya (Bulungan, Tidung dan Dayak) saat ini sudan cukup dikenal seluruh lapisan masyarakat, khususnya di Provinsi Kalimantan Utara (Kaltara). Tidak hanya karena desain motifnya yang menarik dan elegan, namun batik dengan desain mewakili tiga suku asli Kaltara itu memiliki pesan moral dan historis.
ISMAIL ANSHORY
HJ. AINUN Faridah, penggagas batik Bultiya saat ditemui di galeri miliknya di Jalan Salak, Tanjung Selor, Bulungan, Minggu (11/3), mengaku butuh proses panjang untuk memperkenalkan batik Bultiya.
Awalnya batik Bultiya itu didesain hanya untuk keperluan perayaan Birau atau peringatan hari jadi Kabupaten Bulungan dan Kota Tanjung Selor pada 2012 lalu. Batik Bultiya akan digunakan oleh aparatur sipil negara (ASN) dan masyarakat umum untuk seragam Jepen masal di Lapangan Agatis.
H. Budiman Arifin yang saat itu menjabat Bupati Bulungan ingin seragam yang digunakan merupakan batik lokal. Perlu waktu untuk menyelesaikan desain batik itu. “Selesai, dan saat ketemu Bupati desain ditolak,” cerita wanita kelahiran Tanjung Palas, 27 Februari 1965 ini.
Saat itu desain awal Bultiya tidak mewakili semua suku. Dan namanya pun Bultiken (Bulungan, Tidung dan Kenyah). Nama Kenyah dinilai hanya mewakili satu sub suku Dayak saja. Sehingga, sebutan Kenyah diganti dengan Dayak.
“Maunya Bupati unsur tiga suku didesain menjadi satu dan namanya yang lebih mewakili semua sub suku Dayak,” ujar mantan anggota DPRD Bulungan ini.
Proses tidak selesai di situ. Ainun perlu membangun komunikasi dengan ketua lembaga adat masing-masing. Untuk suku Bulungan dengan Datu Syukur, Tidung dengan Yunus Idris dan Aspar Rasyid. “Akhirnya jadilah Bultiya saat itu dan digunakan,” imbuh Ketua Badan Kerja Sama Organisasi Wanita (BKOW) Kaltara ini.
Setelah Birau, batik Bultiya dijadikan seragam wajib di Pemkab Bulungan. Tidak hanya itu, batik ini kerap digunakan acara fashion show di Jakarta. Bahkan, sempat diperagakan dan dibeli pengusaha asal Jepang saat acara di Bali.
“Orang jepang tertarik dengan pesan moral batik itu. Alhamdulillah sudah ada nilai jual. Tapi belum saya komersilkan besar-besaran karena saya mau pesannya lebih utama,” katanya.
Seiring terbentuk Provinsi Kaltara, terlebih kearifan budaya mendapat perhatian dari Gubenur Kaltara dan istri, batik Bultiya semakin berimprovisasi dengan varian-varian baru.
“Ada empat varian, dengan konsep Bultiya namun pesan moral yang berbeda-beda,” ujar Ainun yang juga aktif di lembaga pendampingan wanita dan anak korban kekerasan ini.
Yaitu Bultiya Ratina (istri Gubernur Kaltara). Melalui batik ini Ainun ingin mengabadikan sosok yang dianggap telah berjasa untuk Kaltara dan Bulungan khususnya. “Saya jelaskan tujuannya. Batik ini dijadikan pakaian panitia STQ di Tarakan tahun lalu,” ujarnya.
Lalu batik Bultiya buah leviw. Batik ini sebagai simbol kerusakan hutan di Kaltara dikarenkan eksplorasi besar-besaran. Buah leviw yang hanya dapat tumbuh di hutan belantara Bulungan dan Malinau saat ini sudah punah. “Anak cucu bisa tidak tahu ini. Minimal melalui batik ini tahu namanya saja,” katanya.
Selanjutnya Bultiya Wakar (salah satu tumbuhan jenis rumput yang tumbuh di Kaltara). “Tanaman ini sering digunakan tentara saat latihan dililitkan ke badan,” sebut Ainun.
Terakhir Bultiya Busek Kumpai (tumbuhan bunga) yang di era tahun 1960-an banyak ditemukan di perairan sungai. Tumbuhan ini dapat diolah menjadi kerajinan bunga dengan aneka warna. “Tapi ini semua sudah punah dan susah didapatkan. Kami ingin itu diabadikan di batik ini,” harapnya.
Melalui batik Bultiya, nilai historis Kesultanan Bulungan dapat diabadikan dan lebih dikenalkan ke daerah lain. Saat ini sedang dirancang Bultiya Sirindu (salah satu mariam di Kesultanan Bulungan Tanjung Palas). “Mudahan dalam waktu dekat ini selesai. Mungkin selanjutnya benda-benda bersejarah lainnya,” pungkasnya. (***/eza)