Hari Batik Nasional 2 Oktober kemarin diperingati cukup meriah di sejumlah wilayah di Indonesia, terutama di Pulau Jawa. Khusus di Kaltara, tepatnya Kabupaten Nunukan juga memiliki batik khas sendiri. Bahkan, batik Nunukan ini memiliki motif yang berasal dari lima etnis suku di Nunukan. Seperti apa batiknya, ikuti liputannya.
RIKO ADITYA WARDANA
TIDAK mudah menggagas motif batik dengan ciri khas Nunukan yang bernama Lulantatibu ini. Butuh waktu dan proses hingga empat tahun lamanya hingga Batik Lulantatibu ini menjadi salah satu budaya milik Kabupaten Nunukan.
Lulantatibu, nama batik ini diambil dari lima nama motif batik se-Kecamatan Nunukan. Yakni motif Batik Lundayeh, Batik Tagalan, Batik Tahol, Batik Tidung dan Bulungan. Ya, lima nama motif tersebut merupakan dari lima etnis asli suku Nunukan.
Sebelum nama Batik Luluantatibu tercetus, nama kelima motif tersebut memang sudah diciptakan oleh Wahyu Muji Lestari. Pada akhirnya digabungkan menjadi satu dan menjadi Batik Lulantatibu yang sekarang ini dikenal sebagai batik khas Nunukan.
Sedikit cerita Wahyu, sapaan akrabnya, saat menceritakan sejarah batik di Nunukan. Dirinya sudah mulai merambah ke dunia batik di Nunukan sejak 2008 lalu. Mengawali dengan mengumpulkan motif seluruh etnis asli suku di Nunukan, dirinya berhasil mencapainya hingga setahun lamanya dengan keseluruhan motif untuk digagas menjadi batik pada 2010 silam.
“Pada saat itulah saya menciptakan kelima motif batik tersebut seraya mengenalkan kepada Sumber Daya Manusia (SDM) yang ada di bidang batik, terkait teknik batik tersebut,” ujar wanita yang juga menjabat sebagai Kepala Seksi (Kasi) Kemitraan dan Ekonomi Kreatif di Dinas Pariwisata, Kepemudaan dan Olahraga (Disparpora) Nunukan tersebut.
Pada akhirnya di 2012 lalu, dirinya mengadakan kegiatan lokakarya untuk menciptakan batik khas Nunukan. Saat itulah tercetus nama Batik Laluntatibu. Hal itu dilakukan Wahyu sendiri lantaran menurutnya kelimanya mempunyai filosofi yang sama dan berkaitan.
Jika motif tersebut digabungkan di satu batik, akan bermakna lima etnis yang tertuang di dalamnya. Di mana arti Lundayeh yang bermotif Tempayan bermakna perlindungan. Sementara Tagalan bermotif Pinunggu yang bermakna kesatuan.
Untuk Tahol bermotif tameng bermakna menjaga kesatuan. Terakhir, yakni Tidung dan Bulungan bermotif Bunga Raye dan persatuan bermakna menyatukan seluruh kekuatan untuk menjaga keselamatan dan obat segala penyakit.
“Jadi, kalau digabungkan menjadi Laluntatibu akan bermakna bahwa seluruh etnis yang ada bersama-sama tumbuh dan berkembang di atas pondasi yang kokoh dan kuat dengan saling menjaga, melindungi dan memberikan kenyamanan menuju kesuksesan, kehidupan yang indah, aman, damai, sejahtera dan penuh kemakmuran,” tegas Wahyu.
Hal itulah yang menjadi dasar Wahyu untuk menggabungkan lima motif menjadi ciri khas motif batik Nunukan. Semenjak nama Laluntatibu tercipta, diadakan pelatihan batik untuk proses produksi dengan teknik tulis.
Hingga tepat 10 Desember 2011, Batik Laluntatibu akhirnya diluncurkan menjadi salah satu batik asal Nunukan. Pasca launching, proses produksi terus di lakukan. Namun, masih ada sejumlah kendala lantaran hak cipta atau Hak Atas Kekayaan Intelektual (Haki) saat itu masih dalam proses. Tanpa Haki tersebut, dirinya ragu akan memproduksi hingga mendistribusikannya hingga ke luar daerah.
Namun, ia menerima Haki dari Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia pada 9 Mei 2017 lalu. Ini menjadikan batik khas Nunukan dengan menggabungkan lima etnis menjadi satu-satunya batik yang memiliki Haki di Kaltara.
Hingga kini pihaknya terus menggenjot SDM untuk terus memproduksi dengan alat dan bahan-bahan produksi lainnya. Meski mempunyai tempat sendiri memproduksi batik di Jalan Ujang Dewa, Kecamatan Nunukan Selatan. Kebanyakan SDM memilih mengerjakan di rumah ketika waktu luang.
“Karena sudah ada alatnya jadi sambil mengerjakannya di rumah itu tidak apa-apa. Kami berharap warga bisa terus kami dorong untuk berkarya. Apalagi sebagian sudah ada yang lancar dalam pewarnaan. Semoga ke depannya akan terus berkembang,” harap Wahyu mengakhiri. (***/eza)